Pura Puncak Penulisan |
Prasasti Sukawana A-1 berangka
tahun 804 Saka (882 M) yang telah dibaca arkeolog R Goris pun dinilai tak
memberikan kepastian perihal Pura Pucak Panulisan ini. Prasasti ini memang
menyebutkan bahwa di Bukit Cintamani (Kintamani) ada bangunan suci bernama Ulan
kurang mendapat perhatian dan sering dijadikan tempat persinggahan,
peristirahatan anak atar (para pengalu). Bangunan tersebut mendapat perhatian
khusus penguasa Bali kala itu, lalu ditugaskanlah Senapati Danda yang dijabat
Kumpi Marodaya dibantu beberapa bhiksu, yakni Siwakangcita, Siwanirmmala, dan
Siwaprajna membangun kembali tempat suci ini. Dalam buku Keadaan Pura-pura di
Bali, Goris juga menyinggung kehadiran Pura Pucak Panulisan. Ilmuwan Belanda
yang meninggal di Bali ini menyebutkan pusat kerajaan pada zaman Bali Kuna
terletak di Bedulu, Pejeng. Sebagai Pura Panataran sekaligus pemujaan awal
terjadinya kehidupan di Bali, Goris menunjuk Pura Penataran Sasih di Intaran,
Pejeng, Gianyar. Pura tempat memuja roh suci leluhur adalah Pura Pucak Panulisan,
di Kintamani, Bangli, sedangkan sebagai pura laut kemungkinan berlokasi di Desa
Pejeng berupa Pura Puser Tasik. Menilik lokasi pura di atas bukit dengan
sistematika teras piramida ditambah dengan tinggalan-tinggalan megalitik, dapat
diduga kuat dari dulu pura ini menjadi tempat pemujaan bagi warga desa-desa
Bali Aga di Kintamani, selain sebagai tempat pemujaan roh leluhur, terutama
raja-raja Bali Kuna. Ini dibuktikan dengan arca-arca perwujudan, seperti Arca
Bhatari Mandul yang merupakan perwujudan Raja Anak Wungsu. “Ada beragam cerita
terkait keberadaan Pura Pucak Panulisan. Tapi saya sendiri belum mendapatkan
kepastian mana yang benar,” urai Jero Kubayan Kiwa, Kubayan di Pura Pucak
Panulisan. Pernah ada yang menghubungkan keberadaan pura ini dengan Pura
Batukaru di Tabanan. Konon, Ida Batara di Pucak Panulisan dengan Pura Batukaru
bersaudara. Semula dibangun sad kahyangan di Pucak Sukawana ini, setelah rajeg
di Panulisan baru membangun di Pucak Batukaru. Di kedua pura ini wewenang
spiritual paling tinggi memang dipegang “pejabat” yang dinamakan Jero Kubayan.
Termasuk saat berlangsung upacara besar, tak mempergunakan pandita atau
sulinggih layaknya di beberapa pura sad kahyangan di Bali. Khusus di Pura Pucak
Panulisan ada dua Kubayan, yakni Kubayan Kiwa dan Kubayan Mucuk. Keduanya
bertugas mengantarkan bakti krama yang menghaturkan sembah. Jero Kubayan ini
memiliki senjata berwujud golok dipergunakan sebagai alat saat ngendag, mulai
memotong lis waktu digelar upacara. Saat menghaturkan bakti mempergunakan mantra,
dinamakan puja sana.
Dalam struktur kemasyarakatan
Sukawana, yang disebut ulu apad, kubayan adalah jabatan tertinggi. Di bawahnya
ada krama panglanan, naka, nyingguk, dan kabau. Jabatan kubayan dipilih
masyarakat dan hanya diganti bila yang bersangkutan sudah punya kumpi (cicit).
Bila tak berketurunan, seperi Kubayan Kiwa kini, jabatan kubayan akan dipegang
sampai meninggal. Mereka tak punya luputan (dispensasi) khusus, terkecuali saat
pamadegan, pelantikan secara niskala, sepenuhnya jadi tanggung jawab warga Desa
Sukawana. Arca Ida Batara di Pucak Panulisan kini tersimpan di Pura Bale Agung
Sukawana, pada Meru Tumpang Lima. Langkah ini diambil tak lepas dari upaya
krama Sukawana mencegah terjadinya pencurian, mengingat lokasi pura dengan
tempat tinggal warga amat berjauhan. “Setelah warga kami mohonkan secara
niskala ke hadapan Ida Batara, diizinkan disimpan di Desa Sukawana,” tambah
Jero Kubayan Istri Kiwa. Arca ini akan diusung ke Pura Pucak saban sepuluh
tahun sekali, saat digelar upacara pacaruan agung bersaranakan empat kerbau dan
seekor kijang. Ida Batara distanakan di pangaruman. Adapun tiap tahun,
bertepatan dengan Purnama Kapat, hanya digelar upacara bertingkat alit,
sederhana, dengan binatang kurban seekor kijang dan kerbau. Yang bertanggung
jawab terhadap segala kegiatan upacara adalah warga gebug domas. Terbagi atas
200 kepala keluarga (KK) dari Sukawana, Kintamani 200, Selulung 200, dan Desa
Bantang 200. Masing-masing anggota gebug domas membawahi beberapa desa yang
bila dikumpulkan seluruhnya mencapai 30 desa. Sebagai pamucuk, penanggung jawab
inti, tetap krama Desa Sukawana. Manakala ada kekurangan sarana upacara
merekalah yang melengkapi.
Dulu, bila upacara hanya
bersaranakan kijang, penanggung jawab cukup dari warga Sukawana. Desa lain
hanya mabakti. Bila upacara besar sepuluh tahun sekali barulah warga gebug
domas turun semua.Sejak tahun 1950-an ada pergeseran. Mungkin karena rasa bakti
warga yang semakin tebal ditambah keinginan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan piodalan bertambah tinggi, maka tiap kali ada piodalan di Pura
Pucak krama gebung domas ikut terlibat langsung. Mereka mengeluarkan urunan
dana dan rerampe-reramon disesuaikan dengan kekayaan di desa masing-masing.
Desa Selulung, misalkan, banyak punya bambu, maka masyarakatnya menghaturkan
bambu. Dulu, sebut Jero Kubayan Kiwa, piodalan yang digelar tiap tahun hanya
menghaturkan seekor kijang. Sejak tahun 1950-an selain kijang juga dikurbankan
seekor kerbau. “Itu boleh saja asalkan dengan keyakinan penuh dan sesuai
kemampuan. Jangan sampai upacara dengan kurban besar justru keyakinan pada
kebesaran Hyang Widhi melorot. Percuma jadinya,” Jero Kubayan mengingatkan. Saat
upacara ngebo papat juga dilaksanakan upacara pakelem bebek putih dan ayam
putih di Pura Pucak Panulisan. Bebek dilengkapi kalung uang kepeng 22 keping,
sedangkan ayam 11 keping. Leher bebek juga dikalungi surat yang menyatakan Desa
Sukawana melaksanakan wali Ida Batara nyatur muka. Pakelem dilaksanakan di
depan palinggih, pada tempat khusus berupa lesung.
“Ada kalanya lubang lesung
kelihatan, ada kalanya tidak. Meskipun kecil, tapi bisa menampung semua sarana
upacara yang akan dijadikan pakelem. Ini sulit dicerna akal sehat, memang,”
tutur Kubayan Kiwa. I Wayan Sucipta
Lingga Purba, Siwa, Ganesa
Pura Pucak Panulisan tak hanya
berfungsi sebagai tempat memuja keagungan Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai
Siwa Natha. Dari lokasi berketinggian 1.745 m dari permukaan laut ini orang
bisa mengetahui jejak sejarah Bali tempo dulu. Di tempat ini tersimpan ratusan
peninggalan purbakala, artefak arkeologis.yang mampu memberikan gambaran apa
dan bagaimana Bali dalam beberapa periode. Mulai dari zaman prasejarah hingga
era pengaruh Hindu. Ini peninggalan para moyang yang memikat minat para
peneliti, sejarawan, arkeolog dalam dan luar negeri. Mereka mencoba mengungkap
berbagai ‘misteri’ di balik arti benda-benda bersejarah tersebut. Beberapa
peninggalan yang hingga kini tersimpan rapi di Puncak Panulisan, di antaranya
batu peninggalan masa megalitik, satu batu berhiaskan bulan dan matahari,
sebuah perwujudan Batara Brahma, tiga arca berpasangan, dua lingga perwujudan
berpasangan, satu arca Ganesa, beberapa miniatur candi sebagai simbolis gunung
tempat berstana para dewa atau roh suci. Tersimpan pula ratusan lingga tak
berpasangan dengan bentuk berbeda-beda. Ada utuh, tak jarang tinggal beberapa
bagian tubuh saja. Secara keseluruhan lingga-lingga itu merupakan simbol Siwa.
Tinggalan kuno ini saban malam dijaga warga dari Sukawana yang makemit bergilir
di pura. Berbagai kesimpulan mencuat dari para ilmuwan dalam maupun luar negeri
perihal tinggalan purbakala di Pucak Panulisan. Dr WF Sturterheim dalam buku
Oudheden Van Bali I-II tahun 1929-1930 menyebutkan, peninggalan purbakala yang
tersimpan di Pucak Panulisan berasal dari era jayanya kerajaan Bali Kuno. Ini
dihubungkan dengan ditemukan beberapa prasasti yang berhubungan dengan
kehidupan Bali masa itu. Sebut, misalkan, prasasti berangka tahun 999 saka
(1077 M) dan tahun 1352 Saka (1436 M). Kebenaran tersebut diperkuat lagi dengan
ditemukannya arca laki perempuan yang di belakangnya terdapat prasasti sebagai
pratista Raja Udayana Warmadewa dengan Gunapriyadarmapatni. Raja ini menduduki
tahta kerajaan di Bali sekitar tahun 911-933 Saka. Sedangkan arca wanita dengan
sikap berdiri di belakangnya menyebut nama Batari Mandul, diperkirakan sebagai
pratista permaisuri Raja Anak Wungsu yang tak berputra. Tim Peneliti Fakultas Sastra Unud
tahun 1922 menemukan, arca berpasangan (laki-perempuan) bermahkota karanda
makuta dan memakai anting-anting berbentuk pilinan rambut, bertinggi 92 cm. Di
bagian bawah ada prasasti bertuliskan angka tahun 933 Saka (1026 M), yang
dipahat Mpu Bga pada hari pasar wijaya manggala. Berdasarkan angka tahun yang
tertuang pada prasasti serta dikaitkan dengan persamaan unsur badaniahnya, maka
peninggalan ini termasuk dalam periode Bali Kuno (abad ke-11). Kemudian ada
arca wanita berdiri dengan tinggi 154 cm yang terbuat dari batu padas. Pada
bagian belakang sandaran ada terpahat prasasti menggunakan huruf Kadiri
Kuadarat. Prasasti tersebut menyebut Batarai Mandul dan angka tahun 999 Saka
(1077 M). Langgam serta angka tahun prasasti ini masuk periode Bali Kuno (abad
ke-11). Ada pula arca laki-laki berdiri dengan sikap tangan kanan dijulurkan ke
bawah sejajar badan dan tangan kiri ditekuk ke depan. Arca ini oleh peneliti
Unud diperkirakan terbuat pada masa Bali Madya (abad ke-13). Selain arca Batari
Mandul, di sini juga terdapat arca perwujudan Dewa Brahma, dengan atribut empat
muka, atau caturmuka. Dewa yang kerap dihubungkan dengan caturmuka memang Dewa
Brahma. Arca ini juga membawa kuncup bunga yang merupakan benda pelepasan. Ciri
badaniah serta karakter agak kekaku-kakuan ini diperkirkan terbuat era Bali
Madya (abad ke-13). Di Pucak Panulisan juga tersimpan
arca Dewa Ganesa dengan ciri berkepala gajah, berbadan manusia dengan perut
buncit, bertangan empat, dan memiliki satu taring. Di belakang kepala Ganesa
terpahat hiasan dedaunan. Dari ciri badaniah yang dimiliki, diperkirakan arca
Ganesa ini tergolong ke dalam periode Bali Madya (abad ke-13). I Gusti Ngurah
Agung Wiratemaja, dalam karya tulis Pura Tegeh Koripan, Desa Sukawana,
Kecamatan Kintamani, Bangli (Kajian Kosepsi) menyebutkan, ada satu ciri kental
yang menunjukkan tokoh yang digambarkan ini merupakan keluarga Dewa Siwa.
Terbukti dengan adanya mata ketiga di antara kening, selain adanya beberapa
lingga tunggal maupun lingga berpasangan sebagai simbol Dewa Siwa yang
tersimpan di Pura Puncak Panulisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar