|
Pura Melanting |
|
Pura Pulaki |
|
Dalam perjalanan berat Peranda
Sakti Wawu Rauh di bumi Bali, istri beliau, Danghyang Biyang Ketut atau disebut
juga Danghyang Biyang Patni Keniten dari Belambangan, yang kelelahan seakan tak
kuasa lagi mengangkat kakinya. Beliau dalam keadaan hamil tua, seluruh
persendian kakinya membengkak dan ngilu dan nyeri. Padahal perjalanan masih
sangat jauh. Malang benar, Peranda Suci Nirarta yang bijak itu sempat
terbimbang sesaat hatinya, ingin direlakannya mengorbankan waktu menemani,
tetapi mengingat pentingnya perjalanan dilanjutkan menuju ke timur secepatnya,
maka diputuskanlah untuk meninggalkan belahan jiwanya sementara di tempat itu,
ditemani salah satu putrinya, Dyah Ayu Swabawa. Putra-putrinya yang lain
diajaknya serta karena mereka masih cukup kuat berjalan. Kelak sesampainya
perjalan Danghyang di tujuan, akan diutusnya pengikutnya menjemput mereka. Jadilah
Peranda istri ditemani sebagian pengikutnya, melepaskan lelah sampai sehat
benar, membangun huma, berladang dan bersawah, sambil mengajar ilmu-ilmu
kehidupan dan menjadi suri tauladan masyarakat di daerah itu. Lama kelamaan
warganya pun makin banyak, sampai ribuan orang semua setia kepadanya. Karena
kesaktian dan kearifannya, warga menggagapnya sebagai Mpu Biyang, ibu seluruh
masyarakat di daerah itu. Beliau melahirkan seorang putra yang tampan, diberi
nama Bagus Bajra, sesuai pesan ayahndanya. Putrinya, Dyah Ayu Swabawa pun
semakin besar dan tumbuh menjadi putri yang sangat cerdas, bijak dan penuh
pesona, dari wajahnya memancar wibawa kepemimpinan yang lebih dewasa dari
umurnya. Di tangannya yang lembut, segala hal akan menjadi jauh lebih baik dan
berguna. Jadilah beliau kesayangan masyarakat, tempat orang bertanya-tanya.
Kecerdasannya nampak dalam ilmu berdagang. Salah satu nasihatnya ialah memikat
pembeli dengan membantu mereka memilihkan barang-barang, hanya yang terbaik
untuk pembeli, bahkan sebelum pembeli itu datang dan sebelum barang itu
dibelinya, niscaya mereka akan kembali lagi, dan menjadi pelanggan yang setia. Daerah
tempat Dyah Ayu Swabawa dan ibundanya tinggal itu kian ramai dikunjungi
saudagar dari tempat lain, jadilah tempat itu marak dengan perniagaan karena
masyarakat senang berbelanja di tempat itu. Namun harapan akan kedatangan
utusan ayahnya menjemput tak kunjung kesampaian, walau Dyah Ayu hampir tiap
hari memanjat pohon yang tinggi berayun-ayun menerawang tempat yang jauh
menantikan munculnya utusan itu. Akhirnya orang-orang memberinya sebutan yang
hormat dan sayang dengan Dyah Ayu Melanting, sedang ibundanya, tempat orang bermohon
nasihat dan pertolongan disebut dengan Empu Alaki, artinya orang arif yang
bersuami, walau suaminya sedang bepergian jauh. Waktu terus berlalu, rupanya
terjadi salah paham. Peranda Istri putus asa menantikan pertemuannya kembali
dengan tambatan hatinya, suami dan putra-putrinya yang lain, yang sangat
dicintainya. Tak juga ada kabar berita. Beliau sangat menyesalkan perpisahan
yang telah lalu, sehingga pada puncaknya, beliau menangis di sanggar pemujaan
sambil mohon kepada Dewata agar dirinya bersama seluruh warganya diperbolehkan
menunggu tanpa termakan usia, walau Dewata memberi persyaratan yang berat.
Peranda Istri Mpu Alaki dan seluruh warganya dibebaskan dari perjalanan sang
kala, luput dari penuaan dan kematian karena tua, namun tidak akan dapat dilihat
orang lain. Dewata menjelaskan, persyaratan itu untuk menjaga agar umat yang
lain tidak iri hati melihatnya abadi.
Kilat menyambar dan guruh
menggelegar di saat itu walau tidak ada hujan dan tidak ada badai, warga Mpu
Alaki lenyap dari pandangan, demi menjaga kesetiaan dan kasih sayang. Demi
penantian yang panjang dan dibayar dengan keabadian. Ida Peranda Sakti Wawu
Rauh yang mengira istri dan putrinya telah moksah baru menyadari hal ini
setelah beliau juga moksah di Ujung Selatan pulau Bali, di hulu batu yang
sepi... Belahan jiwanya, Danghyang Patni Keniten menyusul moksah bersama sang
putri yang bijak tanpa cela, Dyah Ayu Swabawa Melanting. Diikuti kemudian oleh
adindanya yang termuda, pangeran Bajra sang Ratu Samar. Tempat itu kini
terkenal dengan nama Pulaki, Dyah Ayu Melanting berstana di pura Melanting,
Pangeran Bajra di pura Kerta Kawat sebagai Pangeran Mentang Yuda yang adil
dalam memutuskan perkara. Ketiganya juga dipuja dan dilinggihkan di banyak pura
sebagai Ratu Niyang Lingsir yang pemurah, Dewayu Melanting yang bijak dan Ida
Bagus Ratu Samar. Walau telah moksah, Dyah Ayu Melanting tetap menyayangi dan
melimpahi berkat untuk para pedagang yang mau memilihkan barang dagangan
terbaik untuk pelanggan dan calon pelanggannya, di mana pun mereka berjualan,
dibantu oleh Batari Manik Muncar yang melindungi kejujuran transaksi. Untuk
pedagang yang melanggar hukum itu, walau tak pernah tertulis, jangan harap akan
mendapat kasih dan karunia dari beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar