Pura Ponjok Batu |
Pura Ponjok Batu merupakan salah
satu Penyungsungan Jagat atau Pura Dang Kahyangan, selain Pura Pulaki di Desa
Banyupoh, Gerokgak. Pura ini terletak di Desa Julah, Kecamatan Tejakula,
Buleleng. Memang tidak ada data pasti mengenai awal keberadaan pura ini. Namun
yang diketahui, keberadaan pura ini tak bisa lepas dari sejarah kedatangan
Pendeta Siwa Sidanta yaitu Danghyang Nirartha (Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh)
pada abad ke-15, saat masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali Pura ini
memiliki rekaman sejarah yang panjang dan unik. Hal tersebut ditelusuri lewat
temuan arkeologi, efigrafi dan folklore (cerita rakyat) yang hidup di tengah
masyarakat Julah dan sekitarnya. Berdasarkan kajian arkeologis, saat penggalian
di lokasi perbaikan pura tahun 1995 ditemukan sarkopah/sarkopagus. Kini
sarkopah itu disimpan bersama sarkopah lainnya di halaman depan Pura Duhur Desa
Kayuputih, Banjar. Sarkopah (peti mayat) terbuat dari batu cadas, banyak
ditemukan di beberapa daerah di Bali. Sistem penguburan menggunakan sarkopah
berlangsung sejak zaman perundagian di Bali tahun 2500-3000 SM, atau sekitar
5.000 tahun lalu. Berarti di sekitar kawasan Pura Ponjok Batu pernah dihuni
masyarakat yang mendukung budaya sarkopah. Sarkopah merupakan tempat
disemayamkannya jasad orang yang dihormati masyarakat. Pada zaman perundagian,
masyarakat percaya pemujaan roh nenek moyang dan orang-orang yang dihormati,
seperti kepala suku atau ketua adat. Seperti halnya tradisi pembuatan mumi di
Mesir, Babilonia, Siria dan lainnya. Sementara menurut kajian efigrafi atau
prasasti, Desa Julah sebagai pemukiman sangat ramai. Ini diketahui dari
prasasti yang dikeluarkan raja-raja dari Dinasti Warmadewa, masing-masing masa
pemerintahan Raja Sang Sri Aji Ugrasena (tahun 923 M), Raja Sri Aji Tabanendra
Warmadewa (955 M), Raja Sri Janasadhu Warmadewa (975 M), Raja Sri Dharma
Udayana Warmadewa (1011 M), Raja Putri Sang Adnyadewi, Prabu Marakatta
(1022-1026 M), Raja Sri Paduka Anak Wungsu dan Raja Sri Prabu Jayapangus (1181 M).
Raja-raja yang pernah berkuasa itu hampir semuanya pernah mengeluarkan prasasti
tentang keberadaan Desa Julah. Di sana disebutkan pula bahwa tugasnya menjaga
sebaik-baiknya semua pura yang ada di wilayah Desa Julah. Kendati tidak
disebutkan dengan jelas tentang Pura Ponjok Batu, tetapi dipastikan Pura Ponjok
Batu merupakan salah satu pura yang ikut dirawat. Di pura itu juga ditemukan
beberapa patung, di antaranya patung Dewa Siwa, Nandini dan Ganesa. Ini
merupakan petunjuk bahwa perhatian raja Dinasti Warmadewa terhadap Pura Ponjok
Batu sangat besar. Masa kekuasaan Warmadewa berlangsung sampai 1343, ditandai
dengan jatuhnya Kerajaan Bedahulu oleh Majapahit. Selanjutnya pemerintahan di
Bali dipegang Dinasti Kepakisan yang berpusat di Samprangan, lalu pindah ke
Gelgel. Sampai kekuasaan Dalem Waturenggong, mulai ada perhatian terhadap
Pura-pura di Bali Utara/ Denbukit. Diawali dengan kedatangan Danghyang
Nirartha. Saat itu Pura-pura yang ada di Bali Utara mendapat kunjungan kembali
dalam bentuk dharma yatra, mulai dari Pura Pulaki dan pura lainnya, termasuk
Ponjok Batu. Danghyang Nirartha kemudian melanjutkan perjalanannya ke Lombok,
setelah menolong seorang bendega atau awak perahu asal Lombok, yang sedang
karam di sekitar pantai Ponjok Batu. Dikisahkan, awak perahu itu melihat batu
bersinar di tengah laut. Batu didatangi, dibelah. Tetapi kemudian mereka tidak
bisa berangkat sampai datang pertolongan dari Danghyang Nirartha. Batu itu
hingga kini masih ada di pantai Ponjok Batu.
Sejak kedatangan Danghyang Nirartha,
nilai spiritual tempat suci kembali bangkit. Pura Ponjok Batu mulai memancarkan
sinar secara terus-menerus, walaupun Danghyang Nirartha telah meninggalkan
tempat itu menuju ke Lombok, seperti terungkap dalam lontar Dwijendra Tattwa. Sementara
berdasarkan folklore, Pura Ponjok Batu berasal dari cerita Ida Batara di Bali
yang menimbang beratnya Bali Utara dari Pura Penimbangan di Desa Panji.
Ternyata Bali Utara bagian timur lebih ringan. Maka Ida Batara menambah
tumpukan batu di bagian timur Bali Utara sehingga timbangan itu menjadi
seimbang. Pura Ponjok Batu telah beberapa kali dipugar. Pemugaran terakhir
dimulai 1994 hingga dilakukannya upacara Ngenteg Linggih pada Saniscara Wayang
Karo, 8 Agustus 1998. Pura ini terbuat dari batu hitam yang didesain sedemikian
rupa agar keberadaannya tetap kuat. Saat ini, pelinggih yang ada di Pura Ponjok
Batu meliputi:
1. Padmasana
2. Pelinggih Dang Hyang Nirartha
3. Pelinggih Ciwa
4. Pelinggih Ganesa
5. Pelinggih Batara Baruna
6. Pelinggih Seluang
7. Pelinggih Ratu Ayu Pangenter
8. Pelinggih Taksu (Dewa Gede Ngurah)
9. Pelinggih Ratu Bagus Mas Pengukiran
10. Pelinggih Ratu Bagus Mas Subandar
11. Pelinggih Taksu (Ratu Bagus Penyarikan)
12. Bale Pesandekan
13. Bale Paselang
14. Bale Ongkara
15. Bale Gegitaan
16. Bale Reringgitan
17. Bale Kulkul
18. Bale Pegat
19. Bale Paninjoan
Sementara menurut pemangku di
Pura Ponjok Batu Jro Mangku Ketut Ludri (50) dan Jro Mangku Nengah Widi (37),
piodalan di Pura ini dilaksanakan dua kali setahun masing-masing saat Purnama
Desta dan Sasih Kasa Purnama Kasa, Pangelong Ping Tiga (sasih gemuh) yang jatuh
13 Juli 2006. Sedangkan piodalan Purnama Desta nanti pada 12 Mei 2006. Menurut
Jro Mangku, pada piodalan Purnama Desta, diikuti pangempon pura ini yaitu warga
Desa Adat Bangkah, Tejakula. Sedangkan pada saat piodalan Sasih Kasa, diikuti
warga se-Kecamatan Tejakula. Saat odalan atau Purnama Tilem, banyak warga pedek
tangkil ke pura ini, termasuk para pejabat. "Biasanya banyak yang nunas
tamba, melukat dan nunas keselamatan," ujar Jro Mangku Nengah Widi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar