Rabu, 30 Desember 2015

Pura Goa Giri Putri, Nusa Penida

Pura Goa Giri Putri (Nusa Penida)

Di Bali, banyak terdapat goa yang berfungsi sebagai tempat pemujaan. Dalam salah satu goa di Nusa Penida, ada Pura Goa Giri Putri. Keunikan apa saja yang bisa disimak dari keberadaan pura Kahyangan Jagat yang terletak di Dusun Karangsari, Desa Pakraman Suana, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung ini? Konon, di zaman Neolithikum dulu manusia hidup tanpa norma, tanpa kaidah, hingga berlaku suatu pola normatif homo-homini lupus -- manusia satu menjadi "serigala" bagi manusia yang lain, lantas berlaku hukum rimba, siapa kuat dia menang. Tiap orang berusaha mempertahankan hidup dari keganasan alam, seperti amukan binatang buas, hujan lebat, terjangan angin, dan sengatan sinar mentari. Lalu mereka perlu tempat perlindungan dan reproduksi keturunan demi keberlangsungan hidup. Selain penggunaan goa seperti itu, goa juga konon dijadikan tempat bertapa untuk memohon anugerah langsung dari para dewata. Dalam goa umumnya terdapat aliran sungai, kelelawar, ular, dan stalagnit (endapan menyerupai batu tumbuh dari bawah goa mengarah ke langit-langit goa) maupun stalagtit (endapan yang menyerupai bebatuan, muncul dari dinding/langit-langit goa mengarah ke lantai goa). Dalam perkembangannya, manusia memikirkan pola kehidupan baru dengan pola permukiman tetap serta dukungan teknologi yang kian canggih agar mampu mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Meski kehidupan kian modern, namun kenyataan menunjukkan bahwa tradisi prasejarah atau kebudayaan di dalam goa tetap eksis dengan fungsi yang terus berkembang atau berubah.

Kata "giri" itu sendiri artinya gunung, pegunungan atau bukit, sementara "putri" berarti wanita. Dalam konsep ajaran Hindu, "putri" yang dimaksud adalah nama simbolis bagi kekuatan Tuhan, memiliki sifat keibuan atau kewanitaan. Jadi Goa Giri Putri adalah sebuah ruang atau rongga dengan ukuran tertentu sebagai tempat bersemayam kekuatan Tuhan dalam manifestasinya berupa wanita (disebut Hyang Giri Putri), tiada lain adalah salah satu sakti dari kekuatan Tuhan dalam wujud-Nya sebagai Siwa. Di sini, Giri Putri adalah nama yang diberikan pada salah satu goa terbesar yang berada di Pulau Nusa Penida.

Pura Penataran Dalem Ped, Nusa Penida

Pura Penataran Dalaem Ped (Nusa Penida)


Di sebuah desa, persisnya di Desa Ped, Sampalan, Nusa Penida, ada sebuah pura yang sangat terkenal di seluruh pelosok Bali. Pura Penataran Agung Ped nama tempat suci itu. Berada sekitar 50 meter sebelah selatan bibir pantai lautan Selat Nusa. Karena pengaruhnya yang sangat luas yakni seluruh pelosok Bali, Pura Penataran Agung Ped disepakati sebagai Pura Kahyangan Jagat. Pura ini selalu dipadati pemedek untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, kerahayuan, dan ketenangan. Hingga saat ini, pura ini sangat terkenal sebagai salah satu objek wisata spiritual yang paling diminati.Pada awalnya, informasi tentang keberadaan Pura Pentaran Agung Ped sangat simpang-siur. Sumber-sumber informasi tentang sejarah pura itu sangat minim, sehingga menimbulkan perdebatan yang lama. Kelompok (Puri Klungkung, Puri Gelgel dan Mangku Rumodja -- Mangku Lingsir) menyebutkan pura itu bernama Pura Pentaran Ped. Yang lainnya, khususnya para balian di Bali, menyebut Pura Dalem Ped.

Seorang penekun spiritual dan penulis buku asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma dalam tulisannya tentang Selayang Pandang Pura Ped beranggapan bahwa kedua sebutan dari dua versi yang berbeda itu benar adanya. Menurutnya, yang dimaksudkan adalah Pura Dalem Penataran Ped. Hanya, satu pihak menonjolkan penatarannya. Satu pihak lainnya lebih menonjolkan dalemnya.Selain itu, beberapa petunjuk yang menyebutkan pura itu pada awalnya bernama Pura Dalem. Dalam buku Sejarah Nusa dan Sejarah Pura Dalem Ped yang ditulis Drs. Wayan Putera Prata menyebutkan Pura Dalem Ped awalnya bernama Pura Dalem Nusa. Penggantian nama itu dilakukan tokoh Puri Klungkung pada zaman I Dewa Agung. Penggantian nama itu setelah Ida Pedanda Abiansemal bersama pepatih dan pengikutnya secara beriringan (mapeed) datang ke Nusa dengan maksud menyaksikan langsung kebenaran informasi atas keberadaan tiga tapel yang sakti di Pura Dalem Nusa.

Saking saktinya, tapel-tapel itu bahkan mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik yang diderita manusia maupun tumbuh-tumbuhan. Sebelumnya, Ida Pedanda Abiansemal juga sempat kehilangan tiga buah tapel. Ternyata, begitu menyaksikan tiga tapel yang ada di Pura Dalem Nusa itu adalah tiga tapel yang sempat menghilang dari kediamannya. Namun, Ida Pedanda tidak mengambil kembali tapel-tapel itu dengan catatan warga Nusa menjaga dengan baik dan secara terus-menerus melakukan upacara-upacara sebagaimana mestinya.Kesaktian tiga tapel itu bukan saja masuk ke telinga Ida Pedanda, tetapi ke seluruh pelosok Bali. Termasuk, warga Subak Sampalan yang saat itu menghadapi serangan hama tanaman seperti tikus, walang sangit dan lainnya. Ketika mendengar kesaktian tiga tapel itu, seorang klian subak diutus untuk menyaksikan tapel tersebut di Pura Dalem Nusa.

Sesampainya di sana, klian subak memohon anugerah agar Subak Sampalan terhindar dari berbagai penyakit yang menyerang tanaman mereka. Permohonan itu terkabul. Tak lama berselang, penyakit tanaman itu pergi jauh dari Subak Sampalan. Hingga akhirnya warga subak bisa menikmati hasil tanaman seperti padi, palawija dan lainnya.Sesuai kaulnya, warga kemudian menggelar upacara mapeed. Langkah itu diikuti subak-subak lain di sekitar Sampalan. Kabar tentang pelaksanaan upacara mapeed itu terdengar hingga seluruh pelosok Nusa. Sejak saat itulah I Dewa Agung Klungkung mengganti nama Pura Dalem Nusa dengan Pura Dalem Peed (Ped). Meski demikian, hal itu seolah-olah terbantahkan. Karena seorang tokoh masyarakat Desa Ped, Wayan Sukasta, secara tegas menyatakan bahwa nama sebenarnya dari pura tersebut adalah Pura Penataran Agung Ped. Terbukti dari kepercayaan warga-warga sekitar saat ini. Walaupun ada yang menyebutkan pura itu dengan sebutan Pura Dalem, yang dimaksud bukanlah Pura Dalem yang merupakan bagian dari Tri Kahyangan (Puseh, Dalem dan Bale Agung). Melainkan Dalem untuk sebutan Raja yang berkuasa di Nusa Penida pada zaman itu. Dalem atau Raja dimaksud adalah penguasa sakti Ratu Gede Nusa atau Ratu Gede Mecaling, katanya.

Ada lima lokasi pura yang bersatu pada areal Pura Penataran Agung Ped. Pura Segara, sebagai tempat berstananya Batara Baruna, terletak pada bagian paling utara dekat dengan bibir pantai lautan Selat Nusa. Beberapa meter mengarah ke selatan ada Pura Taman dengan kolam mengitari pelinggih yang ada di dalamnya. Pura ini berfungsi sebagai tempat penyucian.

Mengarah ke baratnya lagi, ada Pura utama yakni Penataran Ratu Gede Mecaling sebagai simbol kesaktian penguasa Nusa pada zamannya. Di sebelah timurnya ada lagi pelebaan Ratu Mas. Terakhir di jaba tengah ada Bale Agung yang merupakan linggih Batara-batara pada waktu ngusaba.Masing-masing pura dilengkapi pelinggih, bale perantenan dan bangunan-bangunan lain sesuai fungsi pura masing-masing. Selain itu, di posisi jaba ada sebuah wantilan yang sudah berbentuk bangunan balai banjar model daerah Badung yang biasa dipergunakan untuk pertunjukan kesenian.Seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped sudah mengalami perbaikan atau pemugaran. Kecuali benda-benda yang dikeramatkan. Contohnya, dua arca yakni Arca Ratu Gede Mecaling yang ada di Pura Ratu Gede dan Arca Ratu Mas yang ada di Pelebaan Ratu Mas. Kedua arca itu tidak ada yang berani menyentuhnya. Begitu juga bangunan-bangunan keramat lainnya. Kalaupun ada upaya untuk memperbaiki, hal itu dilakukan dengan membuat bangunan serupa di sebelah bangunan yang dikeramatkan tersebut.

Adanya perbaikan-perbaikan yang secara terus-menerus itu, membuat hampir seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped terbentuk dengan plesteran-plesteran permanen dari semen dan kapur. Termasuk asagan yang lazimnya terbuat dari bambu yang bersifat darurat, tetapi dibuat permanen dengan plesteran semen. Paling tidak, hal itu telah memunculkan kesan kaku bagi pura yang diempon 18 desa pakraman tersebut. Pengemponnya mulai Desa Kutampi ke barat. Adanya sejumlah bangunan-bangunan pura yang dikeramatkan, berdampak pada lingkungan pura. Atmosfer keramat diyakini sudah tercipta sejak awal keberadaan pura tersebut.

Selasa, 29 Desember 2015

Pura Besakih




Pura Besakih
Pura Besakih merupakan pura terbesar yang ada di Bali yang tepatnya terletak di Kecamatan Rendang,Kabupaten Karangasem. Dulu,  tempat sebelum dibangunnya Pura Besakih hanya terdapat kayu-kayuan dalam sebuah  hutan belantara. Sebelum adanya selat Bali ( Segara Rupek ) Pulau Bali dan pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut, pulau ini bernama Pulau Panjang  atau Pulau Dawa. Di suatu tempat di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang (Gunung Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama Resi Markandeya.  Karena ketinggian ilmu bhatinnya ,kesucian rohaninya,serta kecakapan dan kebijaksanaan beliau maka oleh rakyat,beliau diberi julukan Bhatara Giri Rawang. Pada mulanya Resi Markandeya bertapa di Gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung Hyang (konon gunung Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dan kata DI HYANG). Sekian lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar beliau dan para pengikutnya merabas hutan di pulau Dawasetelah selesai, agar tanah itu dibagi-bagikan kepada para pengikutnya. Demikianlah kemudian beliau berangkat ke tanah Bali disertai pengikutnya yang pertama yang berjumlah 8000 orang dengan perlengkapan dan peralatan yang diperlukan. Sesampainya ditempat yang dituju,beliau memerintahkan pengikutnya agar mulai merambas hutan. Akan tetapi Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya (bebanten / sesaji). Kemudian beliau memerintahkan pengikutnya untuk menghentikan perambasan. Dengan hati yang sedih beliau kemudian mengajak pengikutnya untuk kembali ke Jawa. Beliau kembali ketempat pertapaannya semula untuk mohon petunjuk kepada sang Hyang Widhi.Setelah beberapa lamanya beliau berada dipertapaannya, timbul cita-citanya kembali untuk melanjutkan merambas hutan tersebut. Pada suatu hari yang baik,beliau kembali berangkat ke tanah Bali. Kali ini beliau mengajak pengikutnya yang kedua berjumblah 4000 orang yang berasal dari desa Aga yaitu penduduk yang mendiami lereng Gunung Rawung . Turut dalam rombongan itu para Pandita atau para Rsi. Para pengikutnya membawa perlengkapan beserta alat-alat pertanian dan bibit tanaman untuk ditanam di tempat yang baru.

Setelah tiba di tempat yang dituju, Resi Markandeya segera melakukan tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya. Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan selatan ke utara. Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka berkat asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, Sang Yogi Markandeyamemerintahkan agar perabasan hutan, itu dihentikan dan beliau mulai mengadakan pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing dijadikan sawah, tegal dan perumahan. Demikianlah pengikut Rsi Markandya yang berasal dari Desa Aga ( penduduk lereng Gunung Rawung Jawa Timur ) menetap di tempat itu sampai sekarang. Ditempat bekas dimulainya perambasan hutan itu oleh Sang Rsi/Yogi Markandya menanam kendi (caratan) berisi air disertai 5 jenis logam yaitu: emas,perak,tembaga,perunggu dan besi yang disebut Panca Datu dan permata Mirahadi ( mirah yang utama ) dengan sitertai sarana upakara selengkapnya dan diperciki Tirta Pangentas ( air suci ). Tempat menanam 5 jenis logam itu diberinama Basuki yang artinya selamat. Kenapa disebut demikian,karena pada kedatangan Rsi Markandya yang ke dua beserta 4000 pengikutnya selamat tidak menemui hambatan atau bencana seperti yang dialami pada saat kedatangan beliau yang pertama. Ditempat itu kemudian didirikan palinggih. Lambat laun di tempat itu kemudian didirikan pura atau khayangan yang diberi nama Pura Basukian. Pura inilah cikal-bakal berdirinya pura –pura yang lain di komplek Pura Besakih. Ada pendapat yang mengatakan bahwa pembangunan pura ditempat itu dimulai sejak Isaka 85 atau tahun 163 Masehi. Pembangunan komplek pura di Pura Besakih sifatnya bertahap dan berkelanjutan disertai usaha pemugaran dan perbaikan yang dilakukan secara terus menerus dari masa kemasa.

Pura Puncak Penulisan




Pura Puncak Penulisan
Pura Pucak Panulisan di Desa Sukawana, Kintamani, Bangli, memang kerap disinggahi orang-orang. Tak sebatas orang Bali, juga tetamu asing yang berkunjung ke Bali. Tempat suci berjarak kira-kira 70 km dari Denpasar ini memiliki banyak sebutan. Ada menamakan Pura Panarajon, ada pula menamai Pura Tegeh Koripan. Karena letaknya di Bukit Panulisan, orang-orang pun kebanyakan menyebut Pura Pucak Panulisan. Secara garis besar kompleks pura ini menghadap ke selatan, kecuali pura utama yang mengarah ke barat. Pada halaman utama (jeroan) tersimpan tinggalan-tinggalan dari masa prasejarah hingga Bali Kuno. Berpijak dari struktur bangunan, pura ini menganut perpaduan dua konsep. Pertama dari masa megalitik yang tercermin lewat konsep Gunung Suci dan terealisasikan dari wujud bangunan teras piramida, bertingkat-tingkat. Konsep kedua tergambar dalam Sapta Loka, tampak dari struktur tingkatan pura, terdiri dari tujuh tingkatan teras utama yang dihubungkan anak-anak tangga. Pada tingkat ketiga yaitu pada tingkat Swah Loka, terdapat dua palinggih kecil, Pura Dana dan Pura Taman Dana. Pada tingkat keempat, di bagian Maya Loka, di sebelah timur jalan, ditempatkan Pura Ratu Penyarikan, dan di sebelah barat terdapat pemujaan keluarga Dadya Bujangga. Tingkatan keenam, Tapa Loka, berdiri Pura Ratu Daha Tua. Adapun tingkatan ketujuh (Sunya Loka) merupakan pucak Pura Tegeh Koripan. Di sini ada palinggih pangaruman, piyasan, serta gedong sebagai tempat menyimpan benda-benda purbakala. Belum jelas, kapan sejatinya pura ini mulai dibangun. Tim Universitas Udayana yang meneliti pura ini tahun 1992 tak mendapatkan kebenderangan sejarah awal pendirian pura. Benda-benda purbakala yang tersimpan di sana tak satu pun menjelaskan perihal sejarah awal pendirian pura ini, termasuk nama Panarajon ataupun Koripan. Para peneliti hanya menyimpulkan kesamaan kata pucak, tegeh, dan panarajon yang disebut berasal dari kata tuju, berarti tinggi.

Prasasti Sukawana A-1 berangka tahun 804 Saka (882 M) yang telah dibaca arkeolog R Goris pun dinilai tak memberikan kepastian perihal Pura Pucak Panulisan ini. Prasasti ini memang menyebutkan bahwa di Bukit Cintamani (Kintamani) ada bangunan suci bernama Ulan kurang mendapat perhatian dan sering dijadikan tempat persinggahan, peristirahatan anak atar (para pengalu). Bangunan tersebut mendapat perhatian khusus penguasa Bali kala itu, lalu ditugaskanlah Senapati Danda yang dijabat Kumpi Marodaya dibantu beberapa bhiksu, yakni Siwakangcita, Siwanirmmala, dan Siwaprajna membangun kembali tempat suci ini. Dalam buku Keadaan Pura-pura di Bali, Goris juga menyinggung kehadiran Pura Pucak Panulisan. Ilmuwan Belanda yang meninggal di Bali ini menyebutkan pusat kerajaan pada zaman Bali Kuna terletak di Bedulu, Pejeng. Sebagai Pura Panataran sekaligus pemujaan awal terjadinya kehidupan di Bali, Goris menunjuk Pura Penataran Sasih di Intaran, Pejeng, Gianyar. Pura tempat memuja roh suci leluhur adalah Pura Pucak Panulisan, di Kintamani, Bangli, sedangkan sebagai pura laut kemungkinan berlokasi di Desa Pejeng berupa Pura Puser Tasik. Menilik lokasi pura di atas bukit dengan sistematika teras piramida ditambah dengan tinggalan-tinggalan megalitik, dapat diduga kuat dari dulu pura ini menjadi tempat pemujaan bagi warga desa-desa Bali Aga di Kintamani, selain sebagai tempat pemujaan roh leluhur, terutama raja-raja Bali Kuna. Ini dibuktikan dengan arca-arca perwujudan, seperti Arca Bhatari Mandul yang merupakan perwujudan Raja Anak Wungsu. “Ada beragam cerita terkait keberadaan Pura Pucak Panulisan. Tapi saya sendiri belum mendapatkan kepastian mana yang benar,” urai Jero Kubayan Kiwa, Kubayan di Pura Pucak Panulisan. Pernah ada yang menghubungkan keberadaan pura ini dengan Pura Batukaru di Tabanan. Konon, Ida Batara di Pucak Panulisan dengan Pura Batukaru bersaudara. Semula dibangun sad kahyangan di Pucak Sukawana ini, setelah rajeg di Panulisan baru membangun di Pucak Batukaru. Di kedua pura ini wewenang spiritual paling tinggi memang dipegang “pejabat” yang dinamakan Jero Kubayan. Termasuk saat berlangsung upacara besar, tak mempergunakan pandita atau sulinggih layaknya di beberapa pura sad kahyangan di Bali. Khusus di Pura Pucak Panulisan ada dua Kubayan, yakni Kubayan Kiwa dan Kubayan Mucuk. Keduanya bertugas mengantarkan bakti krama yang menghaturkan sembah. Jero Kubayan ini memiliki senjata berwujud golok dipergunakan sebagai alat saat ngendag, mulai memotong lis waktu digelar upacara. Saat menghaturkan bakti mempergunakan mantra, dinamakan puja sana.

Dalam struktur kemasyarakatan Sukawana, yang disebut ulu apad, kubayan adalah jabatan tertinggi. Di bawahnya ada krama panglanan, naka, nyingguk, dan kabau. Jabatan kubayan dipilih masyarakat dan hanya diganti bila yang bersangkutan sudah punya kumpi (cicit). Bila tak berketurunan, seperi Kubayan Kiwa kini, jabatan kubayan akan dipegang sampai meninggal. Mereka tak punya luputan (dispensasi) khusus, terkecuali saat pamadegan, pelantikan secara niskala, sepenuhnya jadi tanggung jawab warga Desa Sukawana. Arca Ida Batara di Pucak Panulisan kini tersimpan di Pura Bale Agung Sukawana, pada Meru Tumpang Lima. Langkah ini diambil tak lepas dari upaya krama Sukawana mencegah terjadinya pencurian, mengingat lokasi pura dengan tempat tinggal warga amat berjauhan. “Setelah warga kami mohonkan secara niskala ke hadapan Ida Batara, diizinkan disimpan di Desa Sukawana,” tambah Jero Kubayan Istri Kiwa. Arca ini akan diusung ke Pura Pucak saban sepuluh tahun sekali, saat digelar upacara pacaruan agung bersaranakan empat kerbau dan seekor kijang. Ida Batara distanakan di pangaruman. Adapun tiap tahun, bertepatan dengan Purnama Kapat, hanya digelar upacara bertingkat alit, sederhana, dengan binatang kurban seekor kijang dan kerbau. Yang bertanggung jawab terhadap segala kegiatan upacara adalah warga gebug domas. Terbagi atas 200 kepala keluarga (KK) dari Sukawana, Kintamani 200, Selulung 200, dan Desa Bantang 200. Masing-masing anggota gebug domas membawahi beberapa desa yang bila dikumpulkan seluruhnya mencapai 30 desa. Sebagai pamucuk, penanggung jawab inti, tetap krama Desa Sukawana. Manakala ada kekurangan sarana upacara merekalah yang melengkapi.

Dulu, bila upacara hanya bersaranakan kijang, penanggung jawab cukup dari warga Sukawana. Desa lain hanya mabakti. Bila upacara besar sepuluh tahun sekali barulah warga gebug domas turun semua.Sejak tahun 1950-an ada pergeseran. Mungkin karena rasa bakti warga yang semakin tebal ditambah keinginan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan piodalan bertambah tinggi, maka tiap kali ada piodalan di Pura Pucak krama gebung domas ikut terlibat langsung. Mereka mengeluarkan urunan dana dan rerampe-reramon disesuaikan dengan kekayaan di desa masing-masing. Desa Selulung, misalkan, banyak punya bambu, maka masyarakatnya menghaturkan bambu. Dulu, sebut Jero Kubayan Kiwa, piodalan yang digelar tiap tahun hanya menghaturkan seekor kijang. Sejak tahun 1950-an selain kijang juga dikurbankan seekor kerbau. “Itu boleh saja asalkan dengan keyakinan penuh dan sesuai kemampuan. Jangan sampai upacara dengan kurban besar justru keyakinan pada kebesaran Hyang Widhi melorot. Percuma jadinya,” Jero Kubayan mengingatkan. Saat upacara ngebo papat juga dilaksanakan upacara pakelem bebek putih dan ayam putih di Pura Pucak Panulisan. Bebek dilengkapi kalung uang kepeng 22 keping, sedangkan ayam 11 keping. Leher bebek juga dikalungi surat yang menyatakan Desa Sukawana melaksanakan wali Ida Batara nyatur muka. Pakelem dilaksanakan di depan palinggih, pada tempat khusus berupa lesung.

“Ada kalanya lubang lesung kelihatan, ada kalanya tidak. Meskipun kecil, tapi bisa menampung semua sarana upacara yang akan dijadikan pakelem. Ini sulit dicerna akal sehat, memang,” tutur Kubayan Kiwa. I Wayan Sucipta

Lingga Purba, Siwa, Ganesa

Pura Pucak Panulisan tak hanya berfungsi sebagai tempat memuja keagungan Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa Natha. Dari lokasi berketinggian 1.745 m dari permukaan laut ini orang bisa mengetahui jejak sejarah Bali tempo dulu. Di tempat ini tersimpan ratusan peninggalan purbakala, artefak arkeologis.yang mampu memberikan gambaran apa dan bagaimana Bali dalam beberapa periode. Mulai dari zaman prasejarah hingga era pengaruh Hindu. Ini peninggalan para moyang yang memikat minat para peneliti, sejarawan, arkeolog dalam dan luar negeri. Mereka mencoba mengungkap berbagai ‘misteri’ di balik arti benda-benda bersejarah tersebut. Beberapa peninggalan yang hingga kini tersimpan rapi di Puncak Panulisan, di antaranya batu peninggalan masa megalitik, satu batu berhiaskan bulan dan matahari, sebuah perwujudan Batara Brahma, tiga arca berpasangan, dua lingga perwujudan berpasangan, satu arca Ganesa, beberapa miniatur candi sebagai simbolis gunung tempat berstana para dewa atau roh suci. Tersimpan pula ratusan lingga tak berpasangan dengan bentuk berbeda-beda. Ada utuh, tak jarang tinggal beberapa bagian tubuh saja. Secara keseluruhan lingga-lingga itu merupakan simbol Siwa. Tinggalan kuno ini saban malam dijaga warga dari Sukawana yang makemit bergilir di pura. Berbagai kesimpulan mencuat dari para ilmuwan dalam maupun luar negeri perihal tinggalan purbakala di Pucak Panulisan. Dr WF Sturterheim dalam buku Oudheden Van Bali I-II tahun 1929-1930 menyebutkan, peninggalan purbakala yang tersimpan di Pucak Panulisan berasal dari era jayanya kerajaan Bali Kuno. Ini dihubungkan dengan ditemukan beberapa prasasti yang berhubungan dengan kehidupan Bali masa itu. Sebut, misalkan, prasasti berangka tahun 999 saka (1077 M) dan tahun 1352 Saka (1436 M). Kebenaran tersebut diperkuat lagi dengan ditemukannya arca laki perempuan yang di belakangnya terdapat prasasti sebagai pratista Raja Udayana Warmadewa dengan Gunapriyadarmapatni. Raja ini menduduki tahta kerajaan di Bali sekitar tahun 911-933 Saka. Sedangkan arca wanita dengan sikap berdiri di belakangnya menyebut nama Batari Mandul, diperkirakan sebagai pratista permaisuri Raja Anak Wungsu yang tak berputra. Tim Peneliti Fakultas Sastra Unud tahun 1922 menemukan, arca berpasangan (laki-perempuan) bermahkota karanda makuta dan memakai anting-anting berbentuk pilinan rambut, bertinggi 92 cm. Di bagian bawah ada prasasti bertuliskan angka tahun 933 Saka (1026 M), yang dipahat Mpu Bga pada hari pasar wijaya manggala. Berdasarkan angka tahun yang tertuang pada prasasti serta dikaitkan dengan persamaan unsur badaniahnya, maka peninggalan ini termasuk dalam periode Bali Kuno (abad ke-11). Kemudian ada arca wanita berdiri dengan tinggi 154 cm yang terbuat dari batu padas. Pada bagian belakang sandaran ada terpahat prasasti menggunakan huruf Kadiri Kuadarat. Prasasti tersebut menyebut Batarai Mandul dan angka tahun 999 Saka (1077 M). Langgam serta angka tahun prasasti ini masuk periode Bali Kuno (abad ke-11). Ada pula arca laki-laki berdiri dengan sikap tangan kanan dijulurkan ke bawah sejajar badan dan tangan kiri ditekuk ke depan. Arca ini oleh peneliti Unud diperkirakan terbuat pada masa Bali Madya (abad ke-13). Selain arca Batari Mandul, di sini juga terdapat arca perwujudan Dewa Brahma, dengan atribut empat muka, atau caturmuka. Dewa yang kerap dihubungkan dengan caturmuka memang Dewa Brahma. Arca ini juga membawa kuncup bunga yang merupakan benda pelepasan. Ciri badaniah serta karakter agak kekaku-kakuan ini diperkirkan terbuat era Bali Madya (abad ke-13). Di Pucak Panulisan juga tersimpan arca Dewa Ganesa dengan ciri berkepala gajah, berbadan manusia dengan perut buncit, bertangan empat, dan memiliki satu taring. Di belakang kepala Ganesa terpahat hiasan dedaunan. Dari ciri badaniah yang dimiliki, diperkirakan arca Ganesa ini tergolong ke dalam periode Bali Madya (abad ke-13). I Gusti Ngurah Agung Wiratemaja, dalam karya tulis Pura Tegeh Koripan, Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Bangli (Kajian Kosepsi) menyebutkan, ada satu ciri kental yang menunjukkan tokoh yang digambarkan ini merupakan keluarga Dewa Siwa. Terbukti dengan adanya mata ketiga di antara kening, selain adanya beberapa lingga tunggal maupun lingga berpasangan sebagai simbol Dewa Siwa yang tersimpan di Pura Puncak Panulisan.

Pura Puncak Bukit Sinunggal



Pr. Puncak Bukit Sinunggal

Pucak Bukit Sinunggal merupakan salah satu Pura Dang Kahyangan yang ada di Bali Utara. Pura ini terletak di Desa Tajun, Kubutambahan. Menurut sejarahnya yang dalam buku “Pura Bukit Tunggal Dalam Prasasti” disusun Ketut Ginarsa, Balai Penelitian Bahasa, Singaraja, 1979, sebelum tahun 914 Masehi pura ini menjadi milik raja yang dipuja masyarakat Bali Utara pada zaman itu. Apa dan bagaimana sejarah berdirinya Pura Pucak Bukit Sinunggal itu? Berdasarkan prasasti Raja Sri Kesari Warmadewa tertanggal 19 Agustus 914, Pura Bukit Sinunggal yang dahulu disebut Hyang Bukit Tunggal terdapat di Desa Air Tabar, daerah Indrapura. Desa Indrapura kini disebut Desa Depaa. Sedangkan yang ngemong /merawat keberadaan Pura Bukit Sinunggal itu adalah Desa Air Tabar. Di desa itu terdapat tokoh-tokoh masing-masing Mpu Danghyang Agenisarma, Sri Naga, Bajra dan Tri. Keempat tokoh masyarakat itu berpangkat Ser Tunggalan, Lampuran. Mereka bertugas mempersatukan masyarakat desa serta melaporkan keadaan dan peristiwa yang terdapat di Desa Air Tabar dan sekitar Pura Bukit Sinunggal kepada Sri Paduka Raja Kesari Warmadewa di Istana Singhamandawa. Pada saat itu Istana Singhamandawa terletak di antara Desa Bedulu dan Desa Pejeng sekarang. Sesuai peraturan adat zaman dulu, letak desa pengemong ada di sebelah utara Pura Bukit Sinunggal  itu. Ketika itu seperti halnya desa kecil lainnya yang masuk dalam wilayah Desa Julah, Desa Air Tabar juga sering didatangi perampok. Untuk menjaga keamanan, masyarakat desa itu berpindah tempat menuju ke selatan Pura Bukit Sinunggal. Di sana mereka membangun desa baru yang disebut Desa Tanjung. Lama-kelamaan menjadi Desa Tajun atau Tetajun. Para pemedek yang ingin tangkil ke pura ini harus membersihkan diri di Beji Pura Air Tabar, lanjut ke Pura Dasar Bhuwana, tempat melinggih-nya Batara Siwa Budha, barulah ke Pura Bukit Sinunggal. Di Bukit Sinunggal terdapat sejumlah pelinggih. Mulai dari bawah, terdapat Pelinggih Ratu Bagus Manik Ulap (Ampu Lawang) dan di jaba ada Ganapati. Sementara di jeroan terdapat pelinggih utama Meru Tumpang Pitu lingih Ratu Batara Lingsir Pucak Bukit Sinunggal Ratu Manik Astagina. Di meru itu terdapat pula patung Batara Ganesa, dan pelinggih Ida Sang Hyang Pasupati. Di sebelah barat meru ini terdapat linggih Ratu Ayu Melanting dan Ratu Gede Dalem Peed (Ratu Bagus Macaling). Di sebelah timur terdapat jejeran tujuh pelinggih yang merupakan pengayatan Sapta Dewata, terdiri atas Ratu Lempuyang, Besakih, Danu Batur, Andakasa, Batukaru, Manik Gumawang dan Ratu Puncak Mangu dan terdapat pula patung ke jurusan Segara Majapahit.

Menurut sejarah, Ratu Batara Lingsir Pucak Bukit Sinunggal Ratu Manik Astagina sudah ada sejak abad ke-5. Beliau datang dari Gunung Himalaya, India diiringi Batara Ganesa. Karena itu Ganesa terdapat di dalam pelinggih utama di Meru Tumpang Pitu (7) itu. Mengenai keberadaan Ganesa di pura ini, Ida Pandita Mpu Nabe Ketek Dwipayogi dari Gria Pana Santya Muni, Desa Tajun mengatakan Pura Bukit Sinunggal adalah stana Ganesa. Ada keyakinan bahwa Ganesa adalah pelindung manusia. “Banyak orang yang diselamatkan dengan cara mapinunas,” ujarnya. Sementara itu, piodalan di Pura Bukit Sinunggal jatuh pada Purnamaning Kapat atau saat bulan Oktober. Pada piodalan itu Ida Batara nyejer selama 7 hari. Saat piodalan ribuan pemedek tangkil dari berbagai daerah. Pura ini disungsung 11 desa masing-masing Tajun, Tunjung, Depaa, Tamblang, Sembiran, Pacung, Bangkah, Tangkid, Kelampuak, Bulian dan Tegal. Kaul Ki Barak Panji Sakti Ada satu hal menarik terkait dengan keberadaan Pura Bukit Sinunggal. Di pura ini pendiri kota Singaraja, Ki Barak Panji Sakti, pernah mengucapkan kaul. Kisahnya dimulai saat Panji Sakti hendak menyerang Blambangan pada abad ke-10. Ketika itu, menurut sejarah, dalam perjalanan menuju Blambangan, Panji Sakti kehilangan arah di lautan dan tidak melihat apa pun. Dalam kepanikan itulah ia memohon kepada Ida Batara Lingsir Manik Astagina Bukit Sinunggal agar diberi petunjuk jalan agar tidak tersesat. Untuk itu dia berkaul akan mengaturkan 6 ekor kerbau. Benar saja, sejurus kemudian muncul cahaya yang menuntun Panji Sakti sehingga sampai ke tujuan dengan selamat dan memperoleh kemenangan.  Pura Pucak Bukit Sinunggal merupakan salah satu Pura Dang Kahyangan yang ada di Bali Utara, Pura ini terletak di Desa Tajun, Kubutambahan. Menurut sejarahnya yang dalam buku "Pura Bukit Tunggal Dalam Prasasti" disusun Ketut Ginarsa, Balai Penelitian Bahasa, Singaraja, 1979, sebelum tahun 914 Masehi pura ini menjadi milik raja yang dipuja masyarakat Bali Utara pada zaman itu.Secara administratif Pura bukit sununggal terletak di desa tajun, kecamatan kubu tambahan, kebupaten buleleng. Seperti namanya, Pura ini terletak di sebuah bukit dengan pemandangan yang asri yang dikenal dengan bukit sinunggal. Untuk sampai di lokasi pura bukit sinunggal, kita dapat melalui jalur denpasar –kintamani, pucak penulisan melewati desa dausa menuju ke desa tajun. Jarak pura dari kota Buleleng kurang lebih 30 km dan dari kota denpasar kurang lebih 98 km.Pura ini dulunya bernama hyang bukit tunggal namun masyarakat biasa menyebutkan dengan pura bulit sinunggal. Sebelumnya mandala pura ini cukup sempit dengan pelinggih pelinggih yang sederhana, setelah didakan beberapa pemugaran kini pura tampak indah dan asri. Dalam sejarahnya disebutkan bahwa pada abad ke 5 ida bhatara sudah melingga di pura ini yang konon hadir dari Gunung Himalaya, India diiringi Batara Ganesa. Karena itu Ganesa terdapat di dalam pelinggih utama di Meru Tumpang Pitu. Didalam prasasti hyang bukit tunggal juga disebutkan bahwa pura bukit sinunggal dulunya disungsung oleh raja raja dari seluruh bali.Pura bukit sinunggal terletak di sebuah bukit, dengan ketinggan kurang lebih 600 m diatas permukaan laut. Untuk sampai di utama mandala pura, kita harus menaiki 113 anak tangga sepanjang kurang 300meter.Menurut penuturan Pemangku Pura, para pemedek yang ingin tangkil ke pura ini harus terlebih dahulu membersihkan diri di Beji Pura Air Tabar, kemudian ke Pura Dasar Bhuwana, tempat melinggih-nya Batara Siwa Budha, barulah ke Pura Bukit Sinunggal.

Sebelum sampai di utama mandala, di areal paling bawah, terdapat sebuah candi bentar dengan dua buah apit lawang di kanan kirinya.Di pelataran ini terdapat sebuah pelinggih yang disebut dengan pelinggih empulawang, sebagai stana bhtara ratu bagus manik ulap. Sebelum menuju pura utama, hendaknya kita terlebih dahulu menghaturkan sembah di pelinggih ini. Secara sekala, pelinggih ini merupakan penjaga, sebelum memasuki areal tersuci pura.Dari areal ini kita dapat menaiki beberapa buah anak tangga yang akan mengantarakan kita menuju utama mandala. Di tengah perjanan, berdiri sebuah pelinggih yang disebut dengan pelinggih lebuh. Fungsi pelinggih ini adalah pengayatan ke bhatara segara. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih sepuluh menit, kita akan sampai di areal utama mandala pura bukit sinunggal.Sebelum masuk ke areal utama mandala, di sisi kanan pura berdiri sebuah bangunan terbuka yang berfungsi sebagai wantilan pura. Di sebelah wantilan terdapat sebuah pohon besar, dengan sebuah pelinggih aling aling, yang berfungsi sebagai penjaga.Melewati sebuah candi bentar, kita akan memasuki utama mandala pura bukit sinunggal. Suasana di mandala ini terasa begitu sejuk dan begitu tenang. Naungan beberapa pohon besar, semakin menguatkan kesan sakral kental dengan aroma kesucian. Dengan luas sekitar dua puluh are, pelataran utama mandala pura bukit sinunggal dihiasi beberapa buah pelinggih, termasuk pelinggih utama pura.Berada di utama mandala, pandangan kita akan langsung tertuju pada sebuah meru tumpang tuju, yang dikelilingi tembok penyengker. Meru ini merupakan pelinggih pokok pura, stana dari ida ratu pucak sinunggal atau bhatara lingsir, yang bergelar Ida ratu manik astagina, sekaligus merupakan penguasa delapan penjuru mata angin.Adanya tembok penyengker yang mengelilingi meru bukannya tanpa alasan. Jelas ini menunjukkan bahwa tidak semua sembarang orang boleh memasuki areal meru, kesucian hati dan fikiran merupakan syarat mutlak untuk memuja beliau disini. Di sebelah meru, berdiri sebuah padma yang merukan lingga stana Ida Hyang Pasupati. Tepat di depan padma, berdiri sebuah phon beringin besar dengan pelinggih yang ada dibawahnya sebagai stana ratu ayu mas melanting.Di sebelah pohon beringin, berdiri sebuah pelinggih sebagai pengayatan ratu gede dalem ped, dan pelinggih ratu ngurah tangkeb langit atau ratu wayan tebeng.Di sisi kanan meru berdiri beberapa pelinggih sebagai pengayatan sapta dewata yaitu pura lempuyang, besakih, batur, batukaru, andakasa, pucak mangu, dan beratan.Di mandala ini terdapat sebuah arca yang merupakan pengayatan ke segara majapahit. Jeroan pura juga dilengkapi oleh beberapa bangunan pelengkap seperti gedong penyimpenan, bale gong, pesamuan dan bale dana punia.Piodalan adalah upacara pemujaan kehadapan Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasiNya lewat sarana pemerajan, pura kahyangan dengan ngelinggihang atau ngerekayang dalam hari hari tertentu. Hari piodalan suatu pura terkait dengan upacara peresmian pertama kali atau pemelaspas dan ngenteg linggih.Perhitungan piodalan di pura bukit sinunggal dilaksanakan berdasarkan pawukon dan wewaran, sehingga piodalannya jatuh pada purnamaning kapat, atau saat bulan Oktober. Pada piodalan itu Ida Batara nyejer selama 7 hari. Saat piodalan ribuan pemedek tangkil dari berbagai daerah.

Pura bukit sinunggal merupakan pura dengan masyarakat pangempon yang cukup besar. Pangempon pura ini berasal dari 11 desa, yang ada di kecamatan kubu tambahan, diantaranya adalah dari desa tajun, tunjung, depa, bayad, sembiran, pacung, bangkah, tamblang, tangkid, mangening, dan kelampuak. Di desa tajun sendiri pangempon pura berjumlah hampir 1500 kepala keluarga.Pangempon pura, merupakan penyangga utama pura, baik itu dari upakara dan upacara yang dilaksanakan rutin. Pemugaran pura yang dilaksanakan tahun 1990, merupakan swadaya dari masyarakat pangempon yang menghaturkan dana punia. Pura bukit sinunggal merupakan salah satu pura yang sangat sacral. Menurut penuturan mangku pura, bila akan terjadi bencana besar dari meru akan memancar sinar merah terang dan beberapa kali telah terbukti. Tak heran jika banyak pemedek yang sengaja datang dari jauh untuk dapat tangkil di pura ini. Banyak Pemedek yang datang ke pura ini bermula dari mimpi mimpi. Sebagian datang untuk memohon obat maupun kesejatraan.Masyarakat yang datang ke pura bukit sinunggal berasal dari berbagai kalangan, dari pejabat sampai wisatawan asing yang menerima bisikan dari mimpi. Keberadaan pura bukit sinunggal sangat disucikan oleh masyrakat, ini terbukti dengan tidak diperbolehkannya wisatawan asing memasuki areal pura, kecuali akan melakukan persembahyangan.Pura bukit sinunggal merupakan salah satu pura yang sangat baik untuk melakukan meditasi, vibrasi suci yang mengalir kuat memancarkan kedamaian di setiap raga yang berada di parahyangan ini.

Pura Ponjok Batu







Pura Ponjok Batu
Pura Ponjok Batu merupakan salah satu Penyungsungan Jagat atau Pura Dang Kahyangan, selain Pura Pulaki di Desa Banyupoh, Gerokgak. Pura ini terletak di Desa Julah, Kecamatan Tejakula, Buleleng. Memang tidak ada data pasti mengenai awal keberadaan pura ini. Namun yang diketahui, keberadaan pura ini tak bisa lepas dari sejarah kedatangan Pendeta Siwa Sidanta yaitu Danghyang Nirartha (Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh) pada abad ke-15, saat masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali Pura ini memiliki rekaman sejarah yang panjang dan unik. Hal tersebut ditelusuri lewat temuan arkeologi, efigrafi dan folklore (cerita rakyat) yang hidup di tengah masyarakat Julah dan sekitarnya. Berdasarkan kajian arkeologis, saat penggalian di lokasi perbaikan pura tahun 1995 ditemukan sarkopah/sarkopagus. Kini sarkopah itu disimpan bersama sarkopah lainnya di halaman depan Pura Duhur Desa Kayuputih, Banjar. Sarkopah (peti mayat) terbuat dari batu cadas, banyak ditemukan di beberapa daerah di Bali. Sistem penguburan menggunakan sarkopah berlangsung sejak zaman perundagian di Bali tahun 2500-3000 SM, atau sekitar 5.000 tahun lalu. Berarti di sekitar kawasan Pura Ponjok Batu pernah dihuni masyarakat yang mendukung budaya sarkopah. Sarkopah merupakan tempat disemayamkannya jasad orang yang dihormati masyarakat. Pada zaman perundagian, masyarakat percaya pemujaan roh nenek moyang dan orang-orang yang dihormati, seperti kepala suku atau ketua adat. Seperti halnya tradisi pembuatan mumi di Mesir, Babilonia, Siria dan lainnya. Sementara menurut kajian efigrafi atau prasasti, Desa Julah sebagai pemukiman sangat ramai. Ini diketahui dari prasasti yang dikeluarkan raja-raja dari Dinasti Warmadewa, masing-masing masa pemerintahan Raja Sang Sri Aji Ugrasena (tahun 923 M), Raja Sri Aji Tabanendra Warmadewa (955 M), Raja Sri Janasadhu Warmadewa (975 M), Raja Sri Dharma Udayana Warmadewa (1011 M), Raja Putri Sang Adnyadewi, Prabu Marakatta (1022-1026 M), Raja Sri Paduka Anak Wungsu dan Raja Sri Prabu Jayapangus (1181 M). Raja-raja yang pernah berkuasa itu hampir semuanya pernah mengeluarkan prasasti tentang keberadaan Desa Julah. Di sana disebutkan pula bahwa tugasnya menjaga sebaik-baiknya semua pura yang ada di wilayah Desa Julah. Kendati tidak disebutkan dengan jelas tentang Pura Ponjok Batu, tetapi dipastikan Pura Ponjok Batu merupakan salah satu pura yang ikut dirawat. Di pura itu juga ditemukan beberapa patung, di antaranya patung Dewa Siwa, Nandini dan Ganesa. Ini merupakan petunjuk bahwa perhatian raja Dinasti Warmadewa terhadap Pura Ponjok Batu sangat besar. Masa kekuasaan Warmadewa berlangsung sampai 1343, ditandai dengan jatuhnya Kerajaan Bedahulu oleh Majapahit. Selanjutnya pemerintahan di Bali dipegang Dinasti Kepakisan yang berpusat di Samprangan, lalu pindah ke Gelgel. Sampai kekuasaan Dalem Waturenggong, mulai ada perhatian terhadap Pura-pura di Bali Utara/ Denbukit. Diawali dengan kedatangan Danghyang Nirartha. Saat itu Pura-pura yang ada di Bali Utara mendapat kunjungan kembali dalam bentuk dharma yatra, mulai dari Pura Pulaki dan pura lainnya, termasuk Ponjok Batu. Danghyang Nirartha kemudian melanjutkan perjalanannya ke Lombok, setelah menolong seorang bendega atau awak perahu asal Lombok, yang sedang karam di sekitar pantai Ponjok Batu. Dikisahkan, awak perahu itu melihat batu bersinar di tengah laut. Batu didatangi, dibelah. Tetapi kemudian mereka tidak bisa berangkat sampai datang pertolongan dari Danghyang Nirartha. Batu itu hingga kini masih ada di pantai Ponjok Batu.

Sejak kedatangan Danghyang Nirartha, nilai spiritual tempat suci kembali bangkit. Pura Ponjok Batu mulai memancarkan sinar secara terus-menerus, walaupun Danghyang Nirartha telah meninggalkan tempat itu menuju ke Lombok, seperti terungkap dalam lontar Dwijendra Tattwa. Sementara berdasarkan folklore, Pura Ponjok Batu berasal dari cerita Ida Batara di Bali yang menimbang beratnya Bali Utara dari Pura Penimbangan di Desa Panji. Ternyata Bali Utara bagian timur lebih ringan. Maka Ida Batara menambah tumpukan batu di bagian timur Bali Utara sehingga timbangan itu menjadi seimbang. Pura Ponjok Batu telah beberapa kali dipugar. Pemugaran terakhir dimulai 1994 hingga dilakukannya upacara Ngenteg Linggih pada Saniscara Wayang Karo, 8 Agustus 1998. Pura ini terbuat dari batu hitam yang didesain sedemikian rupa agar keberadaannya tetap kuat. Saat ini, pelinggih yang ada di Pura Ponjok Batu meliputi:

1. Padmasana
2. Pelinggih Dang Hyang Nirartha
3. Pelinggih Ciwa
4. Pelinggih Ganesa
5. Pelinggih Batara Baruna
6. Pelinggih Seluang
7. Pelinggih Ratu Ayu Pangenter
8. Pelinggih Taksu (Dewa Gede Ngurah)
9. Pelinggih Ratu Bagus Mas Pengukiran
10. Pelinggih Ratu Bagus Mas Subandar
11. Pelinggih Taksu (Ratu Bagus Penyarikan)
12. Bale Pesandekan
13. Bale Paselang
14. Bale Ongkara
15. Bale Gegitaan
16. Bale Reringgitan
17. Bale Kulkul
18. Bale Pegat
19. Bale Paninjoan

Sementara menurut pemangku di Pura Ponjok Batu Jro Mangku Ketut Ludri (50) dan Jro Mangku Nengah Widi (37), piodalan di Pura ini dilaksanakan dua kali setahun masing-masing saat Purnama Desta dan Sasih Kasa Purnama Kasa, Pangelong Ping Tiga (sasih gemuh) yang jatuh 13 Juli 2006. Sedangkan piodalan Purnama Desta nanti pada 12 Mei 2006. Menurut Jro Mangku, pada piodalan Purnama Desta, diikuti pangempon pura ini yaitu warga Desa Adat Bangkah, Tejakula. Sedangkan pada saat piodalan Sasih Kasa, diikuti warga se-Kecamatan Tejakula. Saat odalan atau Purnama Tilem, banyak warga pedek tangkil ke pura ini, termasuk para pejabat. "Biasanya banyak yang nunas tamba, melukat dan nunas keselamatan," ujar Jro Mangku Nengah Widi.