Bermula dari Nuur Tirta
Pura Mandara Giri Semeru Agung |
Tidak hanya masalah teknis
praktis dan etis dijadikan pertimbangan. Pendirian pura di kawasan dataran
tinggi ini juga didasari konsep yang ditopang sumber-sumber rujukan kuat
susastra-agama maupun sumber-sumber sejarah kuno. Dalam pandangan Hindu,
dataran tanah atau gunung tertinggi merupakan kawasan tersuci secara spiritual.
Ini tentu sangat tepat dengan posisi Gunung Semeru sebagai gunung tertinggi di
tanah Jawa, bahkan di Kepulauan Nusantara. Kawasan ini secara historis juga
disebut-sebut sebagai kawasan suci semasa Jawa Kuno, sebagaimana dapat disusuri
dari sumber susastra Nagarakertagama berbahasa Jawa Kuno. Setelah melewati pergolakan yang
panjang akhirnya Pura dibangun bertahap.
Setelah batu bata terbeli, padmasana mulai dibangun, menghadap ke timur. Tetapi
tidak bisa dituntaskan. Dipindah agak ke utara (masih menghadap ke timur),
tidak bisa diselesaikan juga. Ada pawisik (petunjuk gaib) agar dihadapkan ke
selatan. Sejak itu pembangunan lancar dan punia (sumbangan) mengalir dari umat
di Bali maupun di luar Bali. Pendirian pura bertambah lancar setelah rombongan
dari Bali, antara lain Jero Gede Alitan Batur, Tjok Gede Agung Suyasa, Mangku
Sueca dari Besakih, tahun 1989 saat nuur tirta (memohon air suci) ke Semeru
bertemu umat Hindu asli kawasan Semeru. Rombongan dari Bali ini pun bergabung
dengan tim pembangunan pura setempat. Panitia gabungan Sendoro-Bali dibentuk
terpadu. Rencana pun kian mengembang seiring dengan mengalirnya punia dari para
bakta, umat penderma. Guna menjaga ketertiban dan pertanggungjawaban
pengorganisasian, Parisada Kabupaten Lumajang lantas menunjuk sejumlah bakta
(umat yang bersedia tulus berkorban) sebagai Panitia Penggalian Dana dan
Pembangunan Pura Semeru, lewat Surat Penunjukan nomor 94/PHDI-LMJ/IV/1991.Ketika
awal diserahi tugas membangunan fisik pura, panitia cuma disodori dana Rp 40
juta. Dari penggalian dana sukarela kemudian terkumpul Rp 90 juta. Hingga kini
total sudah dihabiskan dana sekitar Rp 1,8 milyar untuk pembangunan fisik pura
dan sekitarnya. Arealnya pun meluas hingga kini hampir 2 hektar. Kini bangunan fisik Pura Mandara
Giri Semeru Agung sudah dilengkapi dengan candi bentar (apit surang) di jaba
sisi, dan candi kurung (gelungkuri) di jaba tengah. Di areal ini dibangun bale
patok, bale gong, gedong simpen, dan bale kulkul. Ada juga pendopo, suci
sebagai dapur khusus dan bale patandingan. Di jeroan, areal utama, ada pangapit
lawang, bale ongkara, bale pasanekan, bale gajah, bale agung, bale paselang,
anglurah, tajuk, dan padmanabha sebagai bangunan suci utama dan sentral. Di
lokasi agak menurun, di sisi timur, dibangun pasraman sulinggih, bale simpen
peralatan dan dua bale pagibungan selain dapur. Sedangkan di sisi selatan
berdiri wantilan megah dan luas. Panitia juga menyiapkan pembangunan kantor
Sekretariat Parisada, perpustakaan dan gerbang utama waringin lawang. Hari
Minggu Umanis, Wuku Menail, tanggal 8 Maret 1992, dipimpin delapan pendeta,
digelarlah untuk pertama kalinya upacara Pamlaspas Alit dan Mapulang Dasar
Sarwa Sekar. Dengan begitu status dan fungsi bangunan pun berubah menjadi
tempat suci, pura. Selanjutnya pada bulan Juni - Juli 1992 diaturkan upacara
besar berupa Pamungkah Agung, Ngenteg Linggih, dan Pujawali.
Lewat Surat Keputusan Nomor:
07/Kep/V/PHDI/1992, dengan memperhatikan hasil pertemuan pihak-pihak instansi,
badan dan majelis yang terkait, di Wantilan Mandapa Kesari Warmadewa, Besakih,
tanggal 11 Mei 1992, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat lantas
menetapkan nama, status dan pengelola pura. Ditetapkan antara lain: nama pura
adalah Pura Mandara Giri Semeru Agung dengan status Pura Kahyangan Jagat,
tempat memuja Hyang Widhi Wasa. Sebagai panyungsung adalah seluruh umat Hindu
di Indonesia. Kini kehadiran pura malah dirasakan memberi rezeki bagi penduduk
setempat. Warung-warung makanan hingga kios penjual kaos berlogo Semeru Agung
dan beragam cenderamata lain pun berkembang. Begitu juga penduduk di sekitar
pura mulai menyediakan kamar-kamar untuk menginap bagi umat Hindu yang datang
bersembahyang ke pura. Bahkan, penginapan juga dibangun di sana oleh penduduk
setempat. Saban hari memang ada saja umat yang bersembahyang ke Semeru Agung.
Lebih-lebih lagi bila hari-hari suci seperti Purnama, Tilem, Galungan, Kuningan
dan sejenisnya.
Memuja Hyang Siwa Pasupati
PEMILIHAN lokasi pura di lambung
Gunung Sumeru tidaklah sembarangan. Ada konsep kuat melatarinya, dan ini sangat
terkait dengan sumber-sumber susastra-agama yang ada. Antara lain disuratkan,
ketika tanah Jawa masih menggang-menggung, belum stabil, Batara Guru menitahkan
para Dewa memenggal puncak Gunung Mahameru dari tanah Bharatawarsa (India) ke
Jawa. Titah itu dilakonkan para Dewa. Puncak Gunung Mahameru dipenggal,
diterbangkan ke tanah Jawa. Jatuh di sisi barat, tanah Jawa berguncang. Bagian
timur berjungkat, sedangkan bagian barat justru tenggelam.Potongan puncak
Gunung Mahameru itu pun digotong lagi ke rah timur. Sepanjang perjalanan dari
barat ke bagian timur tanah Jawa, bagian-bagian puncak Gunung Mahameru itu ada
yang rempak. Bagian-bagian yang rempak itu kelak tumbuh menjadi enam gunung
kecil masing-masing Gunung Katong (Gunung Lawu, 3.265 m di atas permukaan
laut), Gunung Wilis (2.169 m), Gunung Kampud (Gunung Kelud, 1.713 m), Gunung
Kawi (2.631 m), Gunung Arjuna (3.339 m), Gunung Kemukus (3.156 m).
Adapun puncak Mahameru itu
kemudian menjadi Gunung Sumeru (3.876 m). Inilah puncak tertinggi Pegunungan
Tengger sekarang -- bahkan menjadi gunung tertinggi seantero Indonesia -- yang
membentuk poros dengan Gunung Bromo atau Gunung Brahma. Sejak itu tanah Jawa
menjadi stabil, tak lagi goyang, menggang-menggung. Di lambung Gunung Semeru
itulah sejak tahun 1992 resmi berdiri megah Pura Mandara Giri Semeru Agung. Tentu
saja panteon pemindahan Gunung Mahameru di tanah Hindu menjadi Gunung Semeru --
begitu nama otentik yang tersuratkan, namun orang-orang kini terbiasa menyebut
Semeru -- di tanah Jawa (Nusantara) itu disuratkan jauh sebelum Pura Mandara
Giri Semeru Agung dibangun. Kisah tua itu tersurat benderang dalam kitab
Tantupanggelaran berbahasa Jawa Tengahan, digubah dalam bentuk prosa. Apa yang
menarik dari kisah pemindahan gunung itu? Panteon itu jelas menunjukkan
persebaran Hindu paham Siwaistis dari tanah India ke negeri Nusantara yang
berpusat di tanah Jawa. Dalam pandangan Hindu Siwaistis yang berpengaruh besar
di Nusantara, termasuk Bali hingga kini, Dewa tertinggi adalah Siwa. Dewa Siwa
bersemayam di gunung tertinggi. Itu berarti di puncak Gunung Mahameru
(Himalaya) dalam alam India, atau puncak Gunung Sumeru dalam alam Nusantara.
Teks-teks Purana India yang tergolong kitab Upaweda (penjelasan lebih lanjut
atas Weda) memang menyuratkan Tuhan Yang Mahatunggal bersemayam di puncak
Mahameru -- dikenal pula dengan nama Gunung Kailasa atau Gunung Himawan, yang
bersalju abadi. Di puncak gunung yang dikenal juga sebagai pusat padma raya itu
Siwa, yang juga dikenal sebagai Parwataraja Dewa, menurunkan ajaran-ajaran-Nya
kepada sakti-Nya, Dewi Parwati, Dewi Gunung. Ajaran-ajaran itu biasanya
disuratkan dalam bentuk tanya jawab antara Hyang Siwa dengan Dewi Parwati,
kemudian dicatat dalam berbagai Yamala, Damara, Siwasutra, maupun kitab Tantra.
Lebih lanjut, kitab-kitab yang menguraikan perihal ajaran yoga memberikan
tuntunan sangat benderang bahwa bagi seorang sadhaka, dia yang teguh kukuh dan
penuh disiplin menjadikan dirinya sebagai sarana dasar pelaksanaan yoga, puncak
gunung itu ada di sahasrara padma, yakni di puncak ubun-ubun kepala manusia.
Dengan begitu, puncak gunung tiada ubahnya dengan kepala manusia, tempat yang
sangat penting sekaligus sangat patut dijaga kesuciannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar