Minggu, 03 Januari 2016

Pura Mandara Giri Semeru Agung




Bermula dari Nuur Tirta

Pura Mandara Giri Semeru Agung
Tidak mudah untuk dapat mewujudkan tegaknya pura di Desa Senduro, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Di lambung sebelah timur Gunung Semeru itu, nyaris 20 tahun penganut Hindu memendam kerinduan untuk dapat mendirikan bangunan suci berupa pura. Impian itu seperti begitu sulit diwujudkan. Izin pendirian tak mudah didapat dan dana pun tidak otomatis mudah digalang. Begitu lama warga penganut Hindu ini berpuas diri hanya dengan mabakti (sembahyang) di Sanggar Pamujon yang ada hampir di setiap desa di Kecamatan Senduro, Lumajang. Keinginan pemeluk Hindu di Lumajang dan sekitarnya untuk membuat pura sesungguhnya telah muncul sejak tahun 1969. Keinginan ini tampak bersambut dengan keinginan sejumlah tokoh Hindu di Bali, terutama sejak diadakan nuur tirta (memohon air suci) dari Bali langsung ke Patirtaaan Watu Kelosot, di kaki Gunung Semeru, berkaitan dengan diaturkan upacara agung Karya Ekadasa Rudra di Pura Agung Besakih, di lambung Gunung Agung, Bali, Maret 1963. Kegiatan nuur tirta ke Watu Kelosot itu kembali dilakukan pada tahun 1979 berkaitan dengan digelarnya lagi upacara Ekadasa Rudra di Pura Agung Besakih. Pada akhir rangkaian Ekadasa Rudra tahun 1979 ini bahkan juga dilakukan upacara majauman ke Patirtaan Watu Kelosot. Sejak itu dimulailah tradisi rutin nuur tirta saban kali di Besakih dan pura kahyangan jagat lain di Bali diaturkan upacara berskala besar. Kawasan Gunung Sumeru dengan mata air suci Watu Kelosot pun makin dikenal kalangan umat Hindu di Bali maupun di luar Bali. Sebelumnya manakala diaturkan upacara-upacara besar di tempat-tempat suci atau pura kahyangan jagat di Bali, para pandita atau sulinggih (pendeta) biasanya cukup hanya ngaskara ke Gunung Semeru, memohon ke hadapan Hyang Siwa Pasupati yang diyakini berstana di puncak Gunung Semeru. Seiring dengan kesadaran dan penghayatan umat Hindu terhadap ajaran agama, ditopang pula oleh kemajuan teknologi transportasi, nuur atau mendak tirta ke Gunung Semeru pun dilakukan langsung. Toh, kendala teknis praktis kian dirasakan timbul dalam perjalanan waktu kemudian. Jarak tempuh Bali-Watu Kelosot yang bisa menghabiskan waktu 9-11 jam sekali tempuh, kerap mengharuskan umat Hindu bermalam di kawasan Lumajang. Andaikan sekadar menginap tentu tidak masalah, karena bisa bermalam di hotel mana saja. Rasa hati kurang sreg, kurang mantap, muncul manakala menginap sambil ngiring tirta yang baru saja dimohon penuh rasa bakti di petirtaan Watu Kelosot. Terasa kurang etis, tidak anut, bila menginapkan air suci di hotel. Dari sini kian kuat kukuhlah dorongan keinginan mendirikan tempat suci di sekitar Gunung Semeru.

Tidak hanya masalah teknis praktis dan etis dijadikan pertimbangan. Pendirian pura di kawasan dataran tinggi ini juga didasari konsep yang ditopang sumber-sumber rujukan kuat susastra-agama maupun sumber-sumber sejarah kuno. Dalam pandangan Hindu, dataran tanah atau gunung tertinggi merupakan kawasan tersuci secara spiritual. Ini tentu sangat tepat dengan posisi Gunung Semeru sebagai gunung tertinggi di tanah Jawa, bahkan di Kepulauan Nusantara. Kawasan ini secara historis juga disebut-sebut sebagai kawasan suci semasa Jawa Kuno, sebagaimana dapat disusuri dari sumber susastra Nagarakertagama berbahasa Jawa Kuno. Setelah melewati pergolakan yang panjang akhirnya  Pura dibangun bertahap. Setelah batu bata terbeli, padmasana mulai dibangun, menghadap ke timur. Tetapi tidak bisa dituntaskan. Dipindah agak ke utara (masih menghadap ke timur), tidak bisa diselesaikan juga. Ada pawisik (petunjuk gaib) agar dihadapkan ke selatan. Sejak itu pembangunan lancar dan punia (sumbangan) mengalir dari umat di Bali maupun di luar Bali. Pendirian pura bertambah lancar setelah rombongan dari Bali, antara lain Jero Gede Alitan Batur, Tjok Gede Agung Suyasa, Mangku Sueca dari Besakih, tahun 1989 saat nuur tirta (memohon air suci) ke Semeru bertemu umat Hindu asli kawasan Semeru. Rombongan dari Bali ini pun bergabung dengan tim pembangunan pura setempat. Panitia gabungan Sendoro-Bali dibentuk terpadu. Rencana pun kian mengembang seiring dengan mengalirnya punia dari para bakta, umat penderma. Guna menjaga ketertiban dan pertanggungjawaban pengorganisasian, Parisada Kabupaten Lumajang lantas menunjuk sejumlah bakta (umat yang bersedia tulus berkorban) sebagai Panitia Penggalian Dana dan Pembangunan Pura Semeru, lewat Surat Penunjukan nomor 94/PHDI-LMJ/IV/1991.Ketika awal diserahi tugas membangunan fisik pura, panitia cuma disodori dana Rp 40 juta. Dari penggalian dana sukarela kemudian terkumpul Rp 90 juta. Hingga kini total sudah dihabiskan dana sekitar Rp 1,8 milyar untuk pembangunan fisik pura dan sekitarnya. Arealnya pun meluas hingga kini hampir 2 hektar. Kini bangunan fisik Pura Mandara Giri Semeru Agung sudah dilengkapi dengan candi bentar (apit surang) di jaba sisi, dan candi kurung (gelungkuri) di jaba tengah. Di areal ini dibangun bale patok, bale gong, gedong simpen, dan bale kulkul. Ada juga pendopo, suci sebagai dapur khusus dan bale patandingan. Di jeroan, areal utama, ada pangapit lawang, bale ongkara, bale pasanekan, bale gajah, bale agung, bale paselang, anglurah, tajuk, dan padmanabha sebagai bangunan suci utama dan sentral. Di lokasi agak menurun, di sisi timur, dibangun pasraman sulinggih, bale simpen peralatan dan dua bale pagibungan selain dapur. Sedangkan di sisi selatan berdiri wantilan megah dan luas. Panitia juga menyiapkan pembangunan kantor Sekretariat Parisada, perpustakaan dan gerbang utama waringin lawang. Hari Minggu Umanis, Wuku Menail, tanggal 8 Maret 1992, dipimpin delapan pendeta, digelarlah untuk pertama kalinya upacara Pamlaspas Alit dan Mapulang Dasar Sarwa Sekar. Dengan begitu status dan fungsi bangunan pun berubah menjadi tempat suci, pura. Selanjutnya pada bulan Juni - Juli 1992 diaturkan upacara besar berupa Pamungkah Agung, Ngenteg Linggih, dan Pujawali.

Lewat Surat Keputusan Nomor: 07/Kep/V/PHDI/1992, dengan memperhatikan hasil pertemuan pihak-pihak instansi, badan dan majelis yang terkait, di Wantilan Mandapa Kesari Warmadewa, Besakih, tanggal 11 Mei 1992, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat lantas menetapkan nama, status dan pengelola pura. Ditetapkan antara lain: nama pura adalah Pura Mandara Giri Semeru Agung dengan status Pura Kahyangan Jagat, tempat memuja Hyang Widhi Wasa. Sebagai panyungsung adalah seluruh umat Hindu di Indonesia. Kini kehadiran pura malah dirasakan memberi rezeki bagi penduduk setempat. Warung-warung makanan hingga kios penjual kaos berlogo Semeru Agung dan beragam cenderamata lain pun berkembang. Begitu juga penduduk di sekitar pura mulai menyediakan kamar-kamar untuk menginap bagi umat Hindu yang datang bersembahyang ke pura. Bahkan, penginapan juga dibangun di sana oleh penduduk setempat. Saban hari memang ada saja umat yang bersembahyang ke Semeru Agung. Lebih-lebih lagi bila hari-hari suci seperti Purnama, Tilem, Galungan, Kuningan dan sejenisnya.

Memuja Hyang Siwa Pasupati

PEMILIHAN lokasi pura di lambung Gunung Sumeru tidaklah sembarangan. Ada konsep kuat melatarinya, dan ini sangat terkait dengan sumber-sumber susastra-agama yang ada. Antara lain disuratkan, ketika tanah Jawa masih menggang-menggung, belum stabil, Batara Guru menitahkan para Dewa memenggal puncak Gunung Mahameru dari tanah Bharatawarsa (India) ke Jawa. Titah itu dilakonkan para Dewa. Puncak Gunung Mahameru dipenggal, diterbangkan ke tanah Jawa. Jatuh di sisi barat, tanah Jawa berguncang. Bagian timur berjungkat, sedangkan bagian barat justru tenggelam.Potongan puncak Gunung Mahameru itu pun digotong lagi ke rah timur. Sepanjang perjalanan dari barat ke bagian timur tanah Jawa, bagian-bagian puncak Gunung Mahameru itu ada yang rempak. Bagian-bagian yang rempak itu kelak tumbuh menjadi enam gunung kecil masing-masing Gunung Katong (Gunung Lawu, 3.265 m di atas permukaan laut), Gunung Wilis (2.169 m), Gunung Kampud (Gunung Kelud, 1.713 m), Gunung Kawi (2.631 m), Gunung Arjuna (3.339 m), Gunung Kemukus (3.156 m).
Adapun puncak Mahameru itu kemudian menjadi Gunung Sumeru (3.876 m). Inilah puncak tertinggi Pegunungan Tengger sekarang -- bahkan menjadi gunung tertinggi seantero Indonesia -- yang membentuk poros dengan Gunung Bromo atau Gunung Brahma. Sejak itu tanah Jawa menjadi stabil, tak lagi goyang, menggang-menggung. Di lambung Gunung Semeru itulah sejak tahun 1992 resmi berdiri megah Pura Mandara Giri Semeru Agung. Tentu saja panteon pemindahan Gunung Mahameru di tanah Hindu menjadi Gunung Semeru -- begitu nama otentik yang tersuratkan, namun orang-orang kini terbiasa menyebut Semeru -- di tanah Jawa (Nusantara) itu disuratkan jauh sebelum Pura Mandara Giri Semeru Agung dibangun. Kisah tua itu tersurat benderang dalam kitab Tantupanggelaran berbahasa Jawa Tengahan, digubah dalam bentuk prosa. Apa yang menarik dari kisah pemindahan gunung itu? Panteon itu jelas menunjukkan persebaran Hindu paham Siwaistis dari tanah India ke negeri Nusantara yang berpusat di tanah Jawa. Dalam pandangan Hindu Siwaistis yang berpengaruh besar di Nusantara, termasuk Bali hingga kini, Dewa tertinggi adalah Siwa. Dewa Siwa bersemayam di gunung tertinggi. Itu berarti di puncak Gunung Mahameru (Himalaya) dalam alam India, atau puncak Gunung Sumeru dalam alam Nusantara. Teks-teks Purana India yang tergolong kitab Upaweda (penjelasan lebih lanjut atas Weda) memang menyuratkan Tuhan Yang Mahatunggal bersemayam di puncak Mahameru -- dikenal pula dengan nama Gunung Kailasa atau Gunung Himawan, yang bersalju abadi. Di puncak gunung yang dikenal juga sebagai pusat padma raya itu Siwa, yang juga dikenal sebagai Parwataraja Dewa, menurunkan ajaran-ajaran-Nya kepada sakti-Nya, Dewi Parwati, Dewi Gunung. Ajaran-ajaran itu biasanya disuratkan dalam bentuk tanya jawab antara Hyang Siwa dengan Dewi Parwati, kemudian dicatat dalam berbagai Yamala, Damara, Siwasutra, maupun kitab Tantra. Lebih lanjut, kitab-kitab yang menguraikan perihal ajaran yoga memberikan tuntunan sangat benderang bahwa bagi seorang sadhaka, dia yang teguh kukuh dan penuh disiplin menjadikan dirinya sebagai sarana dasar pelaksanaan yoga, puncak gunung itu ada di sahasrara padma, yakni di puncak ubun-ubun kepala manusia. Dengan begitu, puncak gunung tiada ubahnya dengan kepala manusia, tempat yang sangat penting sekaligus sangat patut dijaga kesuciannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar