Minggu, 17 Januari 2016

Pura Bale Kambang




Pura Bale Kambang (Amerta Jati)

Pura Bale Kambang (Pura Amerta Jati) berlokasi di Pantai Bale Kambang, Desa Srigonco, Kecamatan Batur, Malang.  Piodalan di pura ini biasanya dilaksanakan pada  Purnamaning Kalima. Pura Bale Kambang atau Pura Ismoyo dan dikenal juga dengan sebutan Pura Amerta Jati di Pantai Bale Kambang dibangun pada tahun 1985 oleh prakarsa Edi Slamet yang kala itu menjabat sebagai bupati Malang. Dilihat dari wujud arsitekturnya pura ini terlihat mirip dengan pura Tanah Lot di Bali. Di Pura inilah sering diselenggarakan upacara keagamaan, salah satunya adalah ritual Jalani Dhipuja (Melasti). Ritual ini dilaksanakan 3 hari sebelum hari raya Nyepi. Puncak dari ritual ini adalah pada saat Jolen Larung atau melarung persembahan ke laut sebagai wujud rasa syukur atas semua karunia yang telah dianugrahkan, selain itu bertujuan juga untuk mengusir kemalangan pada waktu yang akan datang. Di Pantai Bale Kambang terdapat 3 gugusan pulau yang dikenal dengan nama pulau Anoman, pulau wisanggeni dan pulau Ismoyo. Di pulau Ismoyo inilah berdiri kokoh Pura Amerta Jati (Pura Bale Kambang)

Pura Giri Arjuna




Pura Giri Arjuna
Pura Giri Arjuna  terletak di Dusun Junggo,  Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu Malang  merupakan salah satu pura terbesar di Jawa Timur. Pura ini juga salah satu pura yang terkenal di Jawa-Bali dengan pemandangan sekitar yang sangat indah. Terletak di lereng Gunung Arjuno, pura ini di kelilingi oleh perkebunan apel dan sayur mayur mayarakat sekitar yang terhampar luas. Selain memiliki pemandangan yang menakjubkan Pura Giri Arjuna juga berada di daerah yang sangat sejuk sehingga pemedek yang tangkil dapat merasakan suasana yang rileks, penuh dengan rasa kedamaian dalam hati dan pikiran. Piodalan di Pura Giri Arjuna dilaksanakan pada Purnama Kasa

Rabu, 06 Januari 2016

Pura Giri Selaka (Pura Alas Purwo)



Pura Giri Selaka (Pura Alas Purwo)
Mendengar Alas Purwo, tentunya orang akan langsung memikirkan kawasan hutan lebat di Jawa Timur. Alas Purwo adalah sebuah kawasan hutan Taman Nasional di bawah pengelolaan Departemen Kehutanan dan Perkebunan yang terkenal cukup mistis. Ternyata, di ujung selatan Alas Purwo terdapat satu kawasan situs Hindu peninggalan Kerajaan Majapahit dan kerajaan era sebelumnya, yang oleh masyarakat setempat lalu dibangun menjadi sebuah pura, tempat peribadatan umat Hindu. Kawasan situs yang berada di Kecamatan Tegaldlimo Banyuwangi ini adalah sisa-sisa kekayaan budaya Majapahit yang tak sempat dihancurkan oleh Demak, karena tersembunyi di hutan. Menurut sesepuh warga Tegaldlimo, Ali Wahono, sebetulnya Pura Giri Selaka atau yang disebut sebagai Pura Alas Purwo ditemukan secara tidak sengaja oleh masyarakat pada tahun 1967. Saat itu, masyarakat Kecamatan Tegaldlimo melakukan perabasan terhadap sejumlah kawasan hutan Alas Purwo  untuk bercocok tanam. Daerah di kawasan itu memang cukup makmur dengan hasil palawijanya. Di tempat berdirinya Pura Alas Purwo inilah, masyarakat menemukan sebuah gundukan tanah. “Masyarakat ingin meratakan dan menjadikan lahan cocok tanam. Tapi ternyata, ada bongkahan-bongkahan bata besar yang masih tertumpuk, persis seperti gapura kecil. Masyarakat sekitar lalu membawa bongkahan bata-bata itu ke rumahnya. Ada yang menjadikan bahan membuat tungku dapur, ada juga untuk membuat alas rumah,” ujarnya. Ternyata, keluguan masyarakat itu lalu menyebabkan munculnya musibah bagi warga yang mengambil bata-bata tersebut. Selang beberapa saat setelah mengambil bata itu, semua pelakunya jatuh sakit. Pada saat itulah, ada sabda agar bongkahan batu bata tersebut dikembalikan ke tempatnya semula, karena bongkahan-bongkahan itu adalah tempat petapaan maharesi suci Hindu zaman dulu. Meski belum ada catatan resmi dalam prasasti, masyarakat mempercayai yang malinggih (bertahta) di situs Pura Alas Purwo adalah Empu Bharadah, sosok yang menurut legenda mampu membelah Sungai Brantas dengan kesaktiannya. Selanjutnya, pasca penemuan, masyarakat setempat lalu menjadi sangat yakin dengan kekuatan dan kesucian situs Alas Purwo tersebut. “Sampai ada keinginan seorang warga untuk memagari situs itu agar aman dari jangkauan orang jahil. Tetapi, belum sampai tuntas mewujudkan keinginannya, warga tersebut keburu meninggal. Dari kejadian itu didapatkan sabda, kalau situs Alas Purwo itu wajib dipuja semua umat manusia di muka bumi ini tanpa dibatasi sekat-sekat golongan,” sambungnya. Pihak Dinas Purbakala pun akhirnya berniat menjadikan situs Alas Purwo sebagai benda peninggalan sejarah. Di sisi lain, umat Hindu yang ada di sekitar kawasan tersebut, yang secara turun-temurun mengaku sebagai penganut kebatinan / kejawen untuk alasan keselamatan mereka, sangat menghormati dan merawat dengan seksama situs tersebut. Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, umat Hindu akhirnya membuatkan sebuah pura, sekitar 65 meter dari situs Alas Purwo saat ini. Ini dilakukan tahun 1996, ketika agama Hindu sudah berkembang kembali di tanah air, dan warga setempat yang sebagian besar petani sudah banyak yang beralih menganut agama leluhur mereka, Hindu. Ini dilakukan dengan bantuan umat Hindu Bali. Situs yang ditemukan itu sendiri dibiarkan seperti semula, namun tetap menjadi tempat pemujaan untuk umum, tak terbatas bagi umat Hindu.

Untuk menuju Pura Alas Purwo yang disungsung umat Hindu Kecamatan Tegaldlimo, Banyuwangi, para pengunjug harus memasuki kawasan hutan Taman Nasional Alas Purwo. Dari pintu depan kawasan hutan Taman Nasional, diperlukan waktu satu jam menuju Pura Giri Selaka, melewati hutan jati yang rimbun, yang terkadang bercabang jalannya tanpa adanya petunjuk arah. Bagi pengunjung yang tidak menggunakan kendaraan pribadi, masyarakat setempat sudah menyiapkan sebuah angkutan tradisional yang lazim disebut grandong. Angkutan ini mirip sebuah mobil truk, akan tetapi mesinnya menggunakan mesin genset. Harga sewanya menuju Pura Giri Selaka sekitar Rp 3.000 sekali angkut. Pura Giri Selaka berada di tengah hutan Alas Purwo, sekitar tiga kilometer dari kawasan wisata Pantai Plengkung, ujung selatan Alas Purwo, yang juga ujung tenggara Pulau Jawa. Di kawasan ini, memang tidak ada satu pun rumah penduduk. Apabila ingin bermalam, pihak pengelola Taman Wisata menyediakan sejumlah penginapan sederhana, yang jaraknya sekitar satu kilometer dari Pura Giri Selaka.

Minggu, 03 Januari 2016

Pura Mandara Giri Semeru Agung




Bermula dari Nuur Tirta

Pura Mandara Giri Semeru Agung
Tidak mudah untuk dapat mewujudkan tegaknya pura di Desa Senduro, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Di lambung sebelah timur Gunung Semeru itu, nyaris 20 tahun penganut Hindu memendam kerinduan untuk dapat mendirikan bangunan suci berupa pura. Impian itu seperti begitu sulit diwujudkan. Izin pendirian tak mudah didapat dan dana pun tidak otomatis mudah digalang. Begitu lama warga penganut Hindu ini berpuas diri hanya dengan mabakti (sembahyang) di Sanggar Pamujon yang ada hampir di setiap desa di Kecamatan Senduro, Lumajang. Keinginan pemeluk Hindu di Lumajang dan sekitarnya untuk membuat pura sesungguhnya telah muncul sejak tahun 1969. Keinginan ini tampak bersambut dengan keinginan sejumlah tokoh Hindu di Bali, terutama sejak diadakan nuur tirta (memohon air suci) dari Bali langsung ke Patirtaaan Watu Kelosot, di kaki Gunung Semeru, berkaitan dengan diaturkan upacara agung Karya Ekadasa Rudra di Pura Agung Besakih, di lambung Gunung Agung, Bali, Maret 1963. Kegiatan nuur tirta ke Watu Kelosot itu kembali dilakukan pada tahun 1979 berkaitan dengan digelarnya lagi upacara Ekadasa Rudra di Pura Agung Besakih. Pada akhir rangkaian Ekadasa Rudra tahun 1979 ini bahkan juga dilakukan upacara majauman ke Patirtaan Watu Kelosot. Sejak itu dimulailah tradisi rutin nuur tirta saban kali di Besakih dan pura kahyangan jagat lain di Bali diaturkan upacara berskala besar. Kawasan Gunung Sumeru dengan mata air suci Watu Kelosot pun makin dikenal kalangan umat Hindu di Bali maupun di luar Bali. Sebelumnya manakala diaturkan upacara-upacara besar di tempat-tempat suci atau pura kahyangan jagat di Bali, para pandita atau sulinggih (pendeta) biasanya cukup hanya ngaskara ke Gunung Semeru, memohon ke hadapan Hyang Siwa Pasupati yang diyakini berstana di puncak Gunung Semeru. Seiring dengan kesadaran dan penghayatan umat Hindu terhadap ajaran agama, ditopang pula oleh kemajuan teknologi transportasi, nuur atau mendak tirta ke Gunung Semeru pun dilakukan langsung. Toh, kendala teknis praktis kian dirasakan timbul dalam perjalanan waktu kemudian. Jarak tempuh Bali-Watu Kelosot yang bisa menghabiskan waktu 9-11 jam sekali tempuh, kerap mengharuskan umat Hindu bermalam di kawasan Lumajang. Andaikan sekadar menginap tentu tidak masalah, karena bisa bermalam di hotel mana saja. Rasa hati kurang sreg, kurang mantap, muncul manakala menginap sambil ngiring tirta yang baru saja dimohon penuh rasa bakti di petirtaan Watu Kelosot. Terasa kurang etis, tidak anut, bila menginapkan air suci di hotel. Dari sini kian kuat kukuhlah dorongan keinginan mendirikan tempat suci di sekitar Gunung Semeru.

Tidak hanya masalah teknis praktis dan etis dijadikan pertimbangan. Pendirian pura di kawasan dataran tinggi ini juga didasari konsep yang ditopang sumber-sumber rujukan kuat susastra-agama maupun sumber-sumber sejarah kuno. Dalam pandangan Hindu, dataran tanah atau gunung tertinggi merupakan kawasan tersuci secara spiritual. Ini tentu sangat tepat dengan posisi Gunung Semeru sebagai gunung tertinggi di tanah Jawa, bahkan di Kepulauan Nusantara. Kawasan ini secara historis juga disebut-sebut sebagai kawasan suci semasa Jawa Kuno, sebagaimana dapat disusuri dari sumber susastra Nagarakertagama berbahasa Jawa Kuno. Setelah melewati pergolakan yang panjang akhirnya  Pura dibangun bertahap. Setelah batu bata terbeli, padmasana mulai dibangun, menghadap ke timur. Tetapi tidak bisa dituntaskan. Dipindah agak ke utara (masih menghadap ke timur), tidak bisa diselesaikan juga. Ada pawisik (petunjuk gaib) agar dihadapkan ke selatan. Sejak itu pembangunan lancar dan punia (sumbangan) mengalir dari umat di Bali maupun di luar Bali. Pendirian pura bertambah lancar setelah rombongan dari Bali, antara lain Jero Gede Alitan Batur, Tjok Gede Agung Suyasa, Mangku Sueca dari Besakih, tahun 1989 saat nuur tirta (memohon air suci) ke Semeru bertemu umat Hindu asli kawasan Semeru. Rombongan dari Bali ini pun bergabung dengan tim pembangunan pura setempat. Panitia gabungan Sendoro-Bali dibentuk terpadu. Rencana pun kian mengembang seiring dengan mengalirnya punia dari para bakta, umat penderma. Guna menjaga ketertiban dan pertanggungjawaban pengorganisasian, Parisada Kabupaten Lumajang lantas menunjuk sejumlah bakta (umat yang bersedia tulus berkorban) sebagai Panitia Penggalian Dana dan Pembangunan Pura Semeru, lewat Surat Penunjukan nomor 94/PHDI-LMJ/IV/1991.Ketika awal diserahi tugas membangunan fisik pura, panitia cuma disodori dana Rp 40 juta. Dari penggalian dana sukarela kemudian terkumpul Rp 90 juta. Hingga kini total sudah dihabiskan dana sekitar Rp 1,8 milyar untuk pembangunan fisik pura dan sekitarnya. Arealnya pun meluas hingga kini hampir 2 hektar. Kini bangunan fisik Pura Mandara Giri Semeru Agung sudah dilengkapi dengan candi bentar (apit surang) di jaba sisi, dan candi kurung (gelungkuri) di jaba tengah. Di areal ini dibangun bale patok, bale gong, gedong simpen, dan bale kulkul. Ada juga pendopo, suci sebagai dapur khusus dan bale patandingan. Di jeroan, areal utama, ada pangapit lawang, bale ongkara, bale pasanekan, bale gajah, bale agung, bale paselang, anglurah, tajuk, dan padmanabha sebagai bangunan suci utama dan sentral. Di lokasi agak menurun, di sisi timur, dibangun pasraman sulinggih, bale simpen peralatan dan dua bale pagibungan selain dapur. Sedangkan di sisi selatan berdiri wantilan megah dan luas. Panitia juga menyiapkan pembangunan kantor Sekretariat Parisada, perpustakaan dan gerbang utama waringin lawang. Hari Minggu Umanis, Wuku Menail, tanggal 8 Maret 1992, dipimpin delapan pendeta, digelarlah untuk pertama kalinya upacara Pamlaspas Alit dan Mapulang Dasar Sarwa Sekar. Dengan begitu status dan fungsi bangunan pun berubah menjadi tempat suci, pura. Selanjutnya pada bulan Juni - Juli 1992 diaturkan upacara besar berupa Pamungkah Agung, Ngenteg Linggih, dan Pujawali.

Lewat Surat Keputusan Nomor: 07/Kep/V/PHDI/1992, dengan memperhatikan hasil pertemuan pihak-pihak instansi, badan dan majelis yang terkait, di Wantilan Mandapa Kesari Warmadewa, Besakih, tanggal 11 Mei 1992, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat lantas menetapkan nama, status dan pengelola pura. Ditetapkan antara lain: nama pura adalah Pura Mandara Giri Semeru Agung dengan status Pura Kahyangan Jagat, tempat memuja Hyang Widhi Wasa. Sebagai panyungsung adalah seluruh umat Hindu di Indonesia. Kini kehadiran pura malah dirasakan memberi rezeki bagi penduduk setempat. Warung-warung makanan hingga kios penjual kaos berlogo Semeru Agung dan beragam cenderamata lain pun berkembang. Begitu juga penduduk di sekitar pura mulai menyediakan kamar-kamar untuk menginap bagi umat Hindu yang datang bersembahyang ke pura. Bahkan, penginapan juga dibangun di sana oleh penduduk setempat. Saban hari memang ada saja umat yang bersembahyang ke Semeru Agung. Lebih-lebih lagi bila hari-hari suci seperti Purnama, Tilem, Galungan, Kuningan dan sejenisnya.

Memuja Hyang Siwa Pasupati

PEMILIHAN lokasi pura di lambung Gunung Sumeru tidaklah sembarangan. Ada konsep kuat melatarinya, dan ini sangat terkait dengan sumber-sumber susastra-agama yang ada. Antara lain disuratkan, ketika tanah Jawa masih menggang-menggung, belum stabil, Batara Guru menitahkan para Dewa memenggal puncak Gunung Mahameru dari tanah Bharatawarsa (India) ke Jawa. Titah itu dilakonkan para Dewa. Puncak Gunung Mahameru dipenggal, diterbangkan ke tanah Jawa. Jatuh di sisi barat, tanah Jawa berguncang. Bagian timur berjungkat, sedangkan bagian barat justru tenggelam.Potongan puncak Gunung Mahameru itu pun digotong lagi ke rah timur. Sepanjang perjalanan dari barat ke bagian timur tanah Jawa, bagian-bagian puncak Gunung Mahameru itu ada yang rempak. Bagian-bagian yang rempak itu kelak tumbuh menjadi enam gunung kecil masing-masing Gunung Katong (Gunung Lawu, 3.265 m di atas permukaan laut), Gunung Wilis (2.169 m), Gunung Kampud (Gunung Kelud, 1.713 m), Gunung Kawi (2.631 m), Gunung Arjuna (3.339 m), Gunung Kemukus (3.156 m).
Adapun puncak Mahameru itu kemudian menjadi Gunung Sumeru (3.876 m). Inilah puncak tertinggi Pegunungan Tengger sekarang -- bahkan menjadi gunung tertinggi seantero Indonesia -- yang membentuk poros dengan Gunung Bromo atau Gunung Brahma. Sejak itu tanah Jawa menjadi stabil, tak lagi goyang, menggang-menggung. Di lambung Gunung Semeru itulah sejak tahun 1992 resmi berdiri megah Pura Mandara Giri Semeru Agung. Tentu saja panteon pemindahan Gunung Mahameru di tanah Hindu menjadi Gunung Semeru -- begitu nama otentik yang tersuratkan, namun orang-orang kini terbiasa menyebut Semeru -- di tanah Jawa (Nusantara) itu disuratkan jauh sebelum Pura Mandara Giri Semeru Agung dibangun. Kisah tua itu tersurat benderang dalam kitab Tantupanggelaran berbahasa Jawa Tengahan, digubah dalam bentuk prosa. Apa yang menarik dari kisah pemindahan gunung itu? Panteon itu jelas menunjukkan persebaran Hindu paham Siwaistis dari tanah India ke negeri Nusantara yang berpusat di tanah Jawa. Dalam pandangan Hindu Siwaistis yang berpengaruh besar di Nusantara, termasuk Bali hingga kini, Dewa tertinggi adalah Siwa. Dewa Siwa bersemayam di gunung tertinggi. Itu berarti di puncak Gunung Mahameru (Himalaya) dalam alam India, atau puncak Gunung Sumeru dalam alam Nusantara. Teks-teks Purana India yang tergolong kitab Upaweda (penjelasan lebih lanjut atas Weda) memang menyuratkan Tuhan Yang Mahatunggal bersemayam di puncak Mahameru -- dikenal pula dengan nama Gunung Kailasa atau Gunung Himawan, yang bersalju abadi. Di puncak gunung yang dikenal juga sebagai pusat padma raya itu Siwa, yang juga dikenal sebagai Parwataraja Dewa, menurunkan ajaran-ajaran-Nya kepada sakti-Nya, Dewi Parwati, Dewi Gunung. Ajaran-ajaran itu biasanya disuratkan dalam bentuk tanya jawab antara Hyang Siwa dengan Dewi Parwati, kemudian dicatat dalam berbagai Yamala, Damara, Siwasutra, maupun kitab Tantra. Lebih lanjut, kitab-kitab yang menguraikan perihal ajaran yoga memberikan tuntunan sangat benderang bahwa bagi seorang sadhaka, dia yang teguh kukuh dan penuh disiplin menjadikan dirinya sebagai sarana dasar pelaksanaan yoga, puncak gunung itu ada di sahasrara padma, yakni di puncak ubun-ubun kepala manusia. Dengan begitu, puncak gunung tiada ubahnya dengan kepala manusia, tempat yang sangat penting sekaligus sangat patut dijaga kesuciannya.

Pura Agung Blambangan



 


 Pura Agung Blambangan, berlokasi di Desa Tembok Rejo Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Pura Agung Blambangan  didirikan 11 April 1975 & diresmikan pada hari Raya Kuningan tgl 28 Juni 1980. Sejarah : Keberadaan Pura Agung Blambangan berkaitan erat dengan kerajaan Blambangan, disebabkan karena  Pura Agung Blambangan awalnya dulu adalah peninggalan zaman kerajaan Blambangan yang bercorak  Hindu di Banyuwangi dengan rajanya yang terakhir adalah Minakjinggo. Piodalan : Buda Kliwon Dungulan,  pada Hari Raya Galungan